Shalat Berjamaah Syarat sah shalat apa bukan ? Informasi Islami
Assalamualaikum .. sahabat sahabat Informasi Sekalian semalaat pagi pada kesempatan kali ini saya akan membahas mengenai Informasi yang sudah saya dapat di dunia browsing dan materi yang akan saya bahas ini berjudul : Apakah Shalat Berjama’ah Merupakan Syarat Sah Shalat atau Tidak ?
Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada admin http://rezakahar.wordpress.com/ karena jujur informasi ini saya dapat dari sana :)
Dalam menanggapi pertanyaan tesebut, terdapat dua pandangan yang tepat:
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu hukumnya fardhu (kewajiban), dan berdosa meninggalkannya. Dan beban itu baru akan terlepas dengan melakukan shalat berjama’ah itu sendiri. Pendapat ini banyak dianut oleh para ulama mutaakhirin dan dari para pengikut Imam Ahmad. Dalam masalah ini Imam Ahmad bertitik tolak pada pendapat Imam Hanbal yang mengatakan bahwa, “Memenuhi panggilan shalat itu hukumnya fardhu.” Seandainya ada seseorang yang mengatakan bahwa, “Hal itu hukumnya sunnat, dan saya melakukannya di rumahku, seperti shalat witir dan lain-lain. ” Maka hal ini bertentangan dengan hadits, dimana melakukan shalat witir dan shalat sunnat lainnya hukumnya boleh.
Kedua, pendapat yang dikemukakan oleh Abul Hasan Az-Za’farani di dalam kitab Al-Iqna’, yang mengatakan bahwa, “Berjama’ah itu merupakan syarat sahnya shalat, maka tidak sah shalatnya orang yang melakukannya sendirian.” Sebagimana telah diceritakan Al Qadhi dari sebagian para sahabat. Dan hal ini telah dipilih oleh Abul Wafa bin ‘Aqil dan Abul Hasan At-Tamimi. Dan pendapat tersebut adalah pendapatnya Daud dan para pengikutnya. Ibnu Hazam berkata, “Pendapat tersebut adalah pendapat seluruh pengikut aliran kami.” (Al Mahali 4/196)
Dan kami akan mengungkap argumentasi kedua pendapat tersebut:
Orang-orang yang mensyaratkan berjama’ah dalam shalat berkata, “Seluruh dalil yang telah kami sebutkan yang menerangkan tentang kewajiban bejama’ah, menunjukkan bahwa berjama’ah itu merupakan syarat sah dalam shalat. Karena apabila berjama’ah merupakan kewajiban, maka meninggalkannya bagi para mukallaf (akil baligh) menyebabkan dia masih dalam ikatan kewajiban tersebut (harus melakukannya).
Mereka berkata, “Seandainya shalat itu dianggap sah tanpa berjama’ah, maka para sahabat Rasulullah saw tidak akan berkata, “Tidak ada shalat baginya (yang tidak berjama’ah).” Dan seandainya shalat itu sah tanpa berjama’ah, maka Rasulullah saw tidak akan bersabda, “Barangsiapa yang mendengar seruan adzan, kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut, maka shalat yang dia lakukan tidak akan diterima.” Ketika diterimanya shalat itu dikaitkan dengan berjama’ah, maka hal itu menunjukkan kepada syarat sahnya shalat. Sama halnya dengan ketika diterimanya wudhu itu dikaitkan dengan keharusan bersuci dari hadats, maka hal itu secara otomatis menjadi syarat sahnya wudhu.”
Mereka berkata, “Dan tidak diterimanya itu, baik karena tidak dilakukannya satu rukun atau satu syarat, tidak secara otomatis menolak diterimanya shalat dari seorang hamba yang sedang melarikan diri. Dan shalatnya peminum khamar (minuman keras) tidak diterima selama empat puluh hari, terhalangnya diterimanya shalat pada orang tersebut disebabkan perbuatannya yang melakukan hal yang diharamkan, yang menyertai shalat, maka menjadi batal pahala shalatnya.”
Mereka berkata, “Seandainya sah shalatnya orang yang munfarid (shalat sendiri), tentu Ibnu Abbas tidak akan berkata, “Sesungguhnya dia (orang yang melakukan shalat sendirian) akan masuk neraka.”
Mereka berkata, “Seandainya sah shalat orang yang melakukan shalat sendiri, tentu berjama’ah itu tidak akan diwajibkan. Dan hanya sah ibadah seorang hamba itu apabila melakukan hala-hal yang diperintahkan kepadanya. Dan dalil-dalil yang mewajibkan tentang itu secara lengkap telah kami kemukakan.”
Adapun kelompok yang menolak pendapat tersebut di atas, terbagi ke dalam tiga pendapat, yaitu:
1. Pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu hukumnya sunnat. Jika berkehendak, kerjakan, dan jika tidak berkehendak, tinggalkan.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu hukumnya fardhu’ kifayah. Jika ada suatu kelompok yang mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lainnya.
3. Pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu fardhu ‘ain. Namun demikian masih dianggap sah shalat yang tidak dilakukan secara berjama’ah.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim telah diungkapkan dari haditsnya Ibnu Umar, dia berkata, “Rasulullah saw telah bersabda,”Shalat berjama’ah itu lebih utama dari shalat sendiri dengan keutamaan dua puluh tujuh derajat.” (Al Bukhari “Al-Adzan” 645, dan Muslim “Al-Masajid” 650).
Dan dalam shahih Bukhari dan Muslim telah diungkapkan dari Abi Hurairah dari Nabi saw, “Shalat seseorang yang dilakukan dengan berjama’ah dilipatgandakan dari shalat sendirian di rumah atau di pasar dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena jika seseorang menyempurnak wudhu, kemudian dia keluar menuju masjid untuk melakukan shalat, tiada dia melangkahkan kaki selangkah melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu dosa, dan bila ia shalat, selalu dido’akan oleh para malakaikat selamat dia berada di tempat shalatnya itu tidak berhadats, Malaikat berdoa’a, Allahumma sholli ‘alaihi, Allahummar hamhu, Ya Allah limpahkan rahmat kepadanya, Ya Allah kasihinilah dia. Dan dia tetap dianggap shalat selama dia menantikan shalat.” (Al-Bukhari “Al-Adzan” 647 dan Muslim “Al-Masajid” 649).
Mereka berkata, “Seandainya shalat sendiri itu dianggap batal, maka tidak akan ada perbandingan keutamaan antara shalat sendiri dengan shalat berjama’ah, karena tidak logis membandingkan antara yang sah dengan yang batal.”
Mereka berkata, “Dalam shahih Muslim dari haditsnya Utsman bin Affan, sesungguhnya Nabi saw telah bersabda, “Barangsiapa yang melakukan shalat Isya dengan berjama’ah, maka seakan-akan dia melakukan shalat setengah malam. Dan barangsiapa yang shalat Subuh berjama’ah, maka seakan-akan dia shalat sat malam penuh.”(Muslim “Al-Masajid wa Mawadhi’ as-Shalah” 656).
Mereka berkata, “Maka telah diserupakan pelaksanaan shalat berjama’ah dengan sesuatu (shalat) yang bukan wajib, dan hukum yang ada dalam perbuatan yang diserupakan seperti hukum yang ada dalam perbuatan yang diserupai, atau tanpa adanya penyerupan hukum dengan tujuan sebagai penguat (ta’kid).”
Mereka berkata, “Yazid bin Al-Aswad, dia berkata, “Saya hadir bersama Nabi Saw dalam suatu keperluan, kemudian saya shalat Subuh bersama beliau di masjid Khaif (di Mina), setelah selesai shalat beliau berpaling ke belakang, dan beliau melihat ada dua orang yang tidak melakukan shalat, di belakang suatu kaum, kemudian beliau memanggil keduanya, dan keduanya menghadap beliau dalam keadaan gemetar daging rusuknya. Beliu bersabda kepada mereka, “Apa yang menghalangi kamu berdua shalat bersama kami?” Mereka menjawab, “Kami telah shalat di tempat kami.” Beliau bersabda, “Janganlah kamu berbuat demikian. Apabila kamu telah shalat di tempat kamu, kemudian kamu bertemu imam yang belum shalat, maka hendaklah amu shalat bersamanya, karena yang demikian itu jadi (shalat) sunnat buatmu.” (An-Nasa’i “Al-Imamah” 2/112-123, Abu Dawud “Al-Shalat” 575, dan At-Turmudzi “Shalat” 219, dan beliau menganggap hadits tersebut).
Mereka berkata, “Seandainya tidak sah shalat yang pertama (shalat dua orang tersebut di atas, yang dilakukan di tempat tinggalnya), tentu shalat yang kedua tidak akan dianggap sebagai shalat sunnat.”
Dari Mahjan bin Al-Adra’, dia berkata, “Saya datang kepada Rasulullah saw dalam waktu shalat, kemudian beliau shalat dan saya tidak shalat. Beliau bersabda kepadaku, “Apakah kamu tidak shalat?” Saya menjawab, “Ya Rasulullah, say telah shalat dalam perjalanan, setelah itu saya datang kepadamu.” Beliau bersabda, “Apabila kamu datang, maka shalatlah kamu beserta mereka dan jadikanlah shalatmu itu sebagai shalat sunnat.” (H.R Imam Ahmad). Sebagaimana hadits tersebut telah dikemukakan sebelumnya.
Dalam satu pokok bahasan telah dikemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Abi Dzar, dan Abdullah bin Umar. Dalam hadits Ibnu Umar dikatakan, “Dari Sulaiman seorang budak yang dimerdekakan oleh Maimunah, dia berkata, “Saya mendatangi Ibnu Umar yang sedang duduk di ubin, sedangkan orang-orang yang sedang melakukan shalat di masjid. Saya berkata, “Apa yang menghalangi engkau shalat bersama orang-orang?” Dia menjawab, “Sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian shalat dua kali dalam satu hari untuk satu shalat.” (Abu Dawud “Al-Shalat” 579, An-Nasa’i “Al-Imamah” 2/114, Ahmad 2/19 dan Ahmad Syakir telah menshahihkan hadits tersebut 4689. Pengertian yang dimaksud: Mengulangi satu shalat dengan dua kali berjama’ah).
Kelompok yang mewajibkan berjama’ah berkata, “Keutamaan itu tidak mengharuskan lepasnya tanggungan (kewajiban) dari segala segi, baik bersifat mutlak atau bersifat membatasi. Karena keutamaan itu merupakan hasil perbandingan antara yang diunggulkan dengan yang diungguli dari segala segi. Seperti firman Allah, أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَنَّةِ يَوۡمَٮِٕذٍ خَيۡرٌ۬ مُّسۡتَقَرًّ۬ا وَأَحۡسَنُ مَقِيلاً۬ “Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.” (Al-Furqan: 24). Dan firman Allah ta’ala, قُلۡ أَذَٲلِكَ خَيۡرٌ أَمۡ جَنَّةُ ٱلۡخُلۡدِ “Katakanlah, Apa (adzab) yang demikian itukah yang baik atau surga yang kekal…” (Al-Furqan: 15). Dan masih banyak firman Allah yang semacam itu.
Keberadaan shalat sendiri itu merupakan satu bagian dari dua puluh tujuh bagian dari shalat secara keseluruhan, yang tidak bisa menggugurkan kefardhu’an shalat berjama’ah. Dan keberadaan shalat berjama’ah yang dianggap perbuatan sunnat, hanya merupakan satu segi dari beberapa segi yang ada pada shalat berjama’ah. Tujuannya adalah melaksanakan kewajiban keduanya dan diantara keduanya itu ada keutamaan yang dikandung oleh keduanya. Dua orang laki-laki yang berdiri dalam shaf (barisan shalat) yang sama dan diantara shalat keduanya itu terdapat yang lebih utama, laksana antara langit dan bumi.
Dalam beberapa kitab Sunan diungkapkan dari Rasulullah saw, “Sesungguhnya seseorang yang melakukan shalat, maka pahalanya tidak ditulis baginya kecuali setengahnya, sepertiganya, seperempatnya, sepertlimanya, sehingga mencapai sepersepuluhnya.” (“Al-Musnad” 4/319 dan 321, Abu Dawud “Al-Shalat” 796, An-Nasa’i dalam kitab Al-Kubra dari Tuhfatul Asyraf 10356 dan Ibnu Hibban “Al-Shalat” 1889).
Jika kita menganalisa dua orang yang sama-sama melakukan shalat fardhu, dimana shalat salah seorang di antara keduanya itu lebih utama dari shalat yang lainnya dengan perbandingan sepuluh pahala, padahal keduanya sama-sama melakukan shalat fardhu. Begitu juga perumpamaan shalat sendiri dengan shalat berjama’ah.
Lebih jauh Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada bagian (pahala) dari shalatmu, kecuali apa yang engkau pikirkan (mengerti) dari shalat itu, apabila seseorang shalat dan dia tidak mengerti dari shalatnya itu, maka dia hanya mendapatkan satu bagian, dan pahala baginya sesuai dengan ukuran yang satu bagian itu, walaupun dia terlepas dari beban (kewajiban). Begitu juga dengan shalat yang dilakukan sendirian, baginya hanya mendapat satu bagian (pahala), walaupun dia terlepas dari beban (kewajiban) shalat.”
Perumpamaan shalat tersebut, oleh pembuat syara’ (Allah) tidak dinamakan dengan sah. Hal itu hanya diistilahkan oleh para fuqaha (ahli hukum Islam). Karena keabsahan yang mutlak itu adalah terciptanya pengaruh dari suatu perbuatan dan tercapainya apa yang dikehendaki. Hal ini telah meniadakan pengaruhnya yang sangat besar dan tidak tercapainya apa yang dikehendaki secara jelas. Dengan demikian maka hal itu dianggap jauh sekali dari kebenaran dan kesempurnaan, yaitu dengan ketentuan terhindarnya dari siksaan, kalaupun perbuatan itu menghasilkan sesuatu berupa pahala, namun hanya satu bagian. Hal ini semata-mata ucapan orang-orang yang tidak mau menjadikan berjama’ah itu sebagai syarat sah shalat.
Adapun orang-orang yang menjadikan berjama’ah itu sebagai syarat sah shalat dan tidak sah shalatnya seseorang yang tidak berjama’ah. Maka jawabannya adalah keutamaan itu ada apabila yang dibandingkan itu antara dua shalat yang sah. Dan shalat seseorang yagn dilakukan sendirian, hal itu baru dianggap sah apabila adanya alasan-alasan syar’i. Adapun apabila tidak ada alasan syar’i maka shalatnya dianggap tidak sah. Sebagaimana telah dikatakan oleh para sahabat Rasulullah saw.
Seandainya mereka menganggapi pernyataan tersebut di atas, mereka akn menampakkan kembali pertentangannya, dengan mengatakan bahwa, “Sesungguhnya orang yang terkena alasan syar’i, tetap baginya mendapatkan pahala yang sempurna.” Mereka akan menjawab dengan mengatakan, “Sesungguhnya dia itu tidak berhak mendapatkan pahala yang sempurna dari segi perbuatannya kecuali hanya mendapat satu bagian pahala.” Adapun kesempurnaan pahala itu bukan dilihat dari segi perbuatannya, tetapi dilihat dari segi niatnya. Jika dia terbiasa shalat berjama’ah, kemudian dia sakit atau dipenjara atau sedang berpergian dan dia tidak bisa melakukan berjama’ah karena adanya alasan syar’i tersebut. Dengan demikian maka sempurnalah pahala baginya. Padahal shalat berjama’ah itu lebih utama dari shalatnya itu apabila dilihat dari segi kedua perbuatan itu.
Mereka berkata, “Hal ini sudah pasti dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena nash-nash hadits shahih sangat jelas sekali, bahwa tidak ada shalat bagi orang yang mendengar seruan adzan, kemudian dia shalat sendirian. Maka yang dimaksud dengan baginya mendapat satu bagian pahala itu bagi orang yag melakukan shalat sendiri karena adanya alasan syar’i?”
Mereka berkata, “Allah ta’ala mengutamakan orang yang mampu melaksanakan dari orang yang tidak mampu, walaupun Allah tidak sampai menyiksanya. Hal itu semata-mata karena Allah memberikan keutamaan itu kepada orang yang dikehendaki-Nya.”
Dalam shahih Bukhari dari Imran bin Hushain, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang shalat seseorang yang dilakukan dambil duduk. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang melakukan shalat sambil berdiri, maka itu lebih utama, dan barangsiapa yang melakukannya sambil dudu, maka baginya setengah dari pahala orang yang berdiri, dan barangsiapa yang melakukannya sambil tiduran, maka baginya setengah pahala dari pahala orang yang duduk.” (Bukhari “Mengqoshor Shalat” 1115).
Hal ini ditujukan bagi orang-orang yang melakukannya karena adanya alasan-alasan syar’i. Jika tidak ada alasan syar’i, maka ia tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun. Apabila shalat yang dilakukannya shalat sunnat, maka dia tidak akan mendapatkan pahala sunnat. Karena tidak pernah satu hari pun dalam setahun Rasulullah saw dan para sahabat Nabi saw yang nota bene senang melakukan berbagai macam ibadah dan kebaikan, tidak pernah melakukan hal itu. Oleh karena itu mayoritas ulama melarang sambil tiduran kecuali bagi orang yang tidak mampu melakukannya sambil duduk. Sebagaimana Rasulullah saw telah bersabda kepada Imran, “Shalatlah duduk, jika kamu tidak mampu, maka lakukanlah sambil tiduran.” (Bukhari 1117). Imran bin Hushain ini adalah perawi kedua hadits tersebut dan dia juga yang menanyakan kedua permasalahan tersebut kepada Nabi saw.
Adapun argumentasi kamu yang bertitik tolak dari haditsnya Utsman bin Affan, “Barangsiapa yang shalat Isya dengan berjama’ah, maka seakan-akan dia melakukan shalat setengah malam.” Termasuk argumentasi yang cacat. Dan nampak sekali dalil yang bertentangan bagi kamu seperti dalam gambaran sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan ditambah dengan enam hari dari bulan Syawal, maka seakan-akan ia berpuasa setahun penuh.” (Muslim “Puasa” 1164, At-Turmudzi “Puasa” 759, Ibnu Hibban “Puasa” 1716 dan Abu Dawud “Puasa” 2433 dan lafadz hadits tersebut di atas adalah lafadznya Abu Dawud). Puasa setahun penuh itu bukan wajib. Telah diserupakan perbuatan (puasa setahun) itu dengan puasa yang wajib. Bahkan yang benar itu adalah sesungguhnya berpuasa setahun penuh itu hukumnya adalah makruh. Dengan demikian telah diserupakan puasa yang makruh (puasa setahun penuh) dengan puasa yang wajib (puasa Ramadhan). Maka tidak dilarang menyerupakan sesuatu yang wajib dengan sesuatu yang disunnatkan dari segi pelipatgandaan pahala terhadap sesuatu yang wajib yang sedikit sehingga pahala dari perbuatan wajib yang sedikit itu mencapai (sama) dengan pahala perbuatan sunnat yang banyak.
Begitu juga argumentasimu yan bertitik tolak kepada haditsnya Yazid bin Al-Aswad, Mahjan bin Al-Adra’, Abi Dzar dan Ubadah. Sebenarnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengemukakan bahwa, “Sesungguhnya seseorang telah shalat sendirian, padahal dia mampu melakukan shalat berjama’ah.” Seandainya hal itu dikabarkan kepada Nabi saw, maka beliau tidak akan menetapkannya, dan beliau akan mengingkarinya. Begitu juga Ibnu Umar tidak pernah mengatakan, “Saya shalat sendiri, padahal saya mampu melakukan shalat berjama’h.”
Dapat kami katakan bahwa Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah di saat dia bisa melakukannya. Dan kami katakan sebagaimana para sahabat Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya tidak ada shalat baginya.” Seandainya mereka itu melakukan hal itu, maka harus dilihat dari dua segi. Pertama, sesungguhnya mereka melakukan shalat berjama’ah dengan jama’ah lain, di luar jama’ah yang biasa mereka lakukan. Atau hal itu mereka lakukan karena adanya alasan-alasan syar’i pada saat datangnya waktu shalat. Barangsiapa yang melakukan shalat sendirian karena ada alasan syar’i kemudian alasan syar’i itu hilang setelah selesai melakukannya (shalat), maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Sebagaimana tidak perlu mengulang shalatnya kalau seseorang shalat dan bersuci (berwudhu’)-nya dengan ta’yamum, atau seseorang yang shalat sambil duduk karena sakit, kemudian alasan-alasan syar’i tersebut hilang setelah selesai melakukan shalatnya. Begitu juga tidak perlu mengulang shalat orang yang melakukan shalat dalam keadaan telanjang dan setelah selesai shalat dia menemukan penutup aurat.
Mereka berkata, “Hukum-hukum syara’ (agama) telah menunjukan bahwa shalat berjama’ah itu hukumnya fardhu bagi setiap orang. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa segi:
Pertama, sesungguhnya menjama’ shalat karena alasan tujuan hukumnya jaiz (diperbolehkan), hal ini semata-mata untuk menjaga berjama’ah. Jika bukan ditujukan untuk menjaga berjama’ah, maka sangat mungkin sekali setiap orang yang ada di rumah melakukan shalat dengan sendiri-sendiri. Seandainya shalat berjama’ah itu hukumnya sunnat, maka tidak diperbolehkan meninggalkan yang wajib, dan mendahulukan shalat (jama’ taqdim) hanya karena pertimbangan semata-mata.
Kedua, sesungguhnya orang yang sakit yang tidak mampu berdiri dan dalam shalat berjama’ah dan dia mampu berdiri dalam shalat sendirian, maka shalatlah dia dengan berjama’ah walaupun tidak sambil berdiri. Mustahil sekali meninggalkan satu rukun shalat, hanya karena pertimbangan sunnat semata-mata.
Ketiga, sesungguhnya shalat berjama’ah dalam kondisi ketakukan dilakukan dengan cara mafaraqah (berpisah dari shalatnya) imam dan mereka (si makmum) melakukan beberapa hal (perbuatan) dalam shalat tersebut dan pada pertengahan shalat si makmum meninggalkan imamnya dalam keadaan sendiri (sedangkan si makmum menyelesaikan shalatnya). Hal ini dilakukan semata-mata supaya terlaksananya shalat berjama’ah. Padahal sangat memungkinkan sekali seandainya mereka melakukan shalat secara sendiri-sendiri tanpa harus melakukan berjama’ah. Mustahil sekali melakukan hal ini dan meninggalkan perbuatan yang lainnya hanya semata-mata pertimbangan sunnat semata yang nota bene perbuatan tersebut terserah mau dikerjakan atau tidak. Dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk.
Sumber Materi : http://rezakahar.wordpress.com/kumpulan-hadist/bab-shalat/apakah-shalat-berjamaah-di-masjid-wajib-ataukah-sunnah/
Assalamualaikum .. sahabat sahabat Informasi Sekalian semalaat pagi pada kesempatan kali ini saya akan membahas mengenai Informasi yang sudah saya dapat di dunia browsing dan materi yang akan saya bahas ini berjudul : Apakah Shalat Berjama’ah Merupakan Syarat Sah Shalat atau Tidak ?
Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada admin http://rezakahar.wordpress.com/ karena jujur informasi ini saya dapat dari sana :)
Dalam menanggapi pertanyaan tesebut, terdapat dua pandangan yang tepat:
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu hukumnya fardhu (kewajiban), dan berdosa meninggalkannya. Dan beban itu baru akan terlepas dengan melakukan shalat berjama’ah itu sendiri. Pendapat ini banyak dianut oleh para ulama mutaakhirin dan dari para pengikut Imam Ahmad. Dalam masalah ini Imam Ahmad bertitik tolak pada pendapat Imam Hanbal yang mengatakan bahwa, “Memenuhi panggilan shalat itu hukumnya fardhu.” Seandainya ada seseorang yang mengatakan bahwa, “Hal itu hukumnya sunnat, dan saya melakukannya di rumahku, seperti shalat witir dan lain-lain. ” Maka hal ini bertentangan dengan hadits, dimana melakukan shalat witir dan shalat sunnat lainnya hukumnya boleh.
Kedua, pendapat yang dikemukakan oleh Abul Hasan Az-Za’farani di dalam kitab Al-Iqna’, yang mengatakan bahwa, “Berjama’ah itu merupakan syarat sahnya shalat, maka tidak sah shalatnya orang yang melakukannya sendirian.” Sebagimana telah diceritakan Al Qadhi dari sebagian para sahabat. Dan hal ini telah dipilih oleh Abul Wafa bin ‘Aqil dan Abul Hasan At-Tamimi. Dan pendapat tersebut adalah pendapatnya Daud dan para pengikutnya. Ibnu Hazam berkata, “Pendapat tersebut adalah pendapat seluruh pengikut aliran kami.” (Al Mahali 4/196)
Dan kami akan mengungkap argumentasi kedua pendapat tersebut:
Orang-orang yang mensyaratkan berjama’ah dalam shalat berkata, “Seluruh dalil yang telah kami sebutkan yang menerangkan tentang kewajiban bejama’ah, menunjukkan bahwa berjama’ah itu merupakan syarat sah dalam shalat. Karena apabila berjama’ah merupakan kewajiban, maka meninggalkannya bagi para mukallaf (akil baligh) menyebabkan dia masih dalam ikatan kewajiban tersebut (harus melakukannya).
Mereka berkata, “Seandainya shalat itu dianggap sah tanpa berjama’ah, maka para sahabat Rasulullah saw tidak akan berkata, “Tidak ada shalat baginya (yang tidak berjama’ah).” Dan seandainya shalat itu sah tanpa berjama’ah, maka Rasulullah saw tidak akan bersabda, “Barangsiapa yang mendengar seruan adzan, kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut, maka shalat yang dia lakukan tidak akan diterima.” Ketika diterimanya shalat itu dikaitkan dengan berjama’ah, maka hal itu menunjukkan kepada syarat sahnya shalat. Sama halnya dengan ketika diterimanya wudhu itu dikaitkan dengan keharusan bersuci dari hadats, maka hal itu secara otomatis menjadi syarat sahnya wudhu.”
Mereka berkata, “Dan tidak diterimanya itu, baik karena tidak dilakukannya satu rukun atau satu syarat, tidak secara otomatis menolak diterimanya shalat dari seorang hamba yang sedang melarikan diri. Dan shalatnya peminum khamar (minuman keras) tidak diterima selama empat puluh hari, terhalangnya diterimanya shalat pada orang tersebut disebabkan perbuatannya yang melakukan hal yang diharamkan, yang menyertai shalat, maka menjadi batal pahala shalatnya.”
Mereka berkata, “Seandainya sah shalatnya orang yang munfarid (shalat sendiri), tentu Ibnu Abbas tidak akan berkata, “Sesungguhnya dia (orang yang melakukan shalat sendirian) akan masuk neraka.”
Mereka berkata, “Seandainya sah shalat orang yang melakukan shalat sendiri, tentu berjama’ah itu tidak akan diwajibkan. Dan hanya sah ibadah seorang hamba itu apabila melakukan hala-hal yang diperintahkan kepadanya. Dan dalil-dalil yang mewajibkan tentang itu secara lengkap telah kami kemukakan.”
Adapun kelompok yang menolak pendapat tersebut di atas, terbagi ke dalam tiga pendapat, yaitu:
1. Pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu hukumnya sunnat. Jika berkehendak, kerjakan, dan jika tidak berkehendak, tinggalkan.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu hukumnya fardhu’ kifayah. Jika ada suatu kelompok yang mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lainnya.
3. Pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu fardhu ‘ain. Namun demikian masih dianggap sah shalat yang tidak dilakukan secara berjama’ah.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim telah diungkapkan dari haditsnya Ibnu Umar, dia berkata, “Rasulullah saw telah bersabda,”Shalat berjama’ah itu lebih utama dari shalat sendiri dengan keutamaan dua puluh tujuh derajat.” (Al Bukhari “Al-Adzan” 645, dan Muslim “Al-Masajid” 650).
Dan dalam shahih Bukhari dan Muslim telah diungkapkan dari Abi Hurairah dari Nabi saw, “Shalat seseorang yang dilakukan dengan berjama’ah dilipatgandakan dari shalat sendirian di rumah atau di pasar dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena jika seseorang menyempurnak wudhu, kemudian dia keluar menuju masjid untuk melakukan shalat, tiada dia melangkahkan kaki selangkah melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu dosa, dan bila ia shalat, selalu dido’akan oleh para malakaikat selamat dia berada di tempat shalatnya itu tidak berhadats, Malaikat berdoa’a, Allahumma sholli ‘alaihi, Allahummar hamhu, Ya Allah limpahkan rahmat kepadanya, Ya Allah kasihinilah dia. Dan dia tetap dianggap shalat selama dia menantikan shalat.” (Al-Bukhari “Al-Adzan” 647 dan Muslim “Al-Masajid” 649).
Mereka berkata, “Seandainya shalat sendiri itu dianggap batal, maka tidak akan ada perbandingan keutamaan antara shalat sendiri dengan shalat berjama’ah, karena tidak logis membandingkan antara yang sah dengan yang batal.”
Mereka berkata, “Dalam shahih Muslim dari haditsnya Utsman bin Affan, sesungguhnya Nabi saw telah bersabda, “Barangsiapa yang melakukan shalat Isya dengan berjama’ah, maka seakan-akan dia melakukan shalat setengah malam. Dan barangsiapa yang shalat Subuh berjama’ah, maka seakan-akan dia shalat sat malam penuh.”(Muslim “Al-Masajid wa Mawadhi’ as-Shalah” 656).
Mereka berkata, “Maka telah diserupakan pelaksanaan shalat berjama’ah dengan sesuatu (shalat) yang bukan wajib, dan hukum yang ada dalam perbuatan yang diserupakan seperti hukum yang ada dalam perbuatan yang diserupai, atau tanpa adanya penyerupan hukum dengan tujuan sebagai penguat (ta’kid).”
Mereka berkata, “Yazid bin Al-Aswad, dia berkata, “Saya hadir bersama Nabi Saw dalam suatu keperluan, kemudian saya shalat Subuh bersama beliau di masjid Khaif (di Mina), setelah selesai shalat beliau berpaling ke belakang, dan beliau melihat ada dua orang yang tidak melakukan shalat, di belakang suatu kaum, kemudian beliau memanggil keduanya, dan keduanya menghadap beliau dalam keadaan gemetar daging rusuknya. Beliu bersabda kepada mereka, “Apa yang menghalangi kamu berdua shalat bersama kami?” Mereka menjawab, “Kami telah shalat di tempat kami.” Beliau bersabda, “Janganlah kamu berbuat demikian. Apabila kamu telah shalat di tempat kamu, kemudian kamu bertemu imam yang belum shalat, maka hendaklah amu shalat bersamanya, karena yang demikian itu jadi (shalat) sunnat buatmu.” (An-Nasa’i “Al-Imamah” 2/112-123, Abu Dawud “Al-Shalat” 575, dan At-Turmudzi “Shalat” 219, dan beliau menganggap hadits tersebut).
Mereka berkata, “Seandainya tidak sah shalat yang pertama (shalat dua orang tersebut di atas, yang dilakukan di tempat tinggalnya), tentu shalat yang kedua tidak akan dianggap sebagai shalat sunnat.”
Dari Mahjan bin Al-Adra’, dia berkata, “Saya datang kepada Rasulullah saw dalam waktu shalat, kemudian beliau shalat dan saya tidak shalat. Beliau bersabda kepadaku, “Apakah kamu tidak shalat?” Saya menjawab, “Ya Rasulullah, say telah shalat dalam perjalanan, setelah itu saya datang kepadamu.” Beliau bersabda, “Apabila kamu datang, maka shalatlah kamu beserta mereka dan jadikanlah shalatmu itu sebagai shalat sunnat.” (H.R Imam Ahmad). Sebagaimana hadits tersebut telah dikemukakan sebelumnya.
Dalam satu pokok bahasan telah dikemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Abi Dzar, dan Abdullah bin Umar. Dalam hadits Ibnu Umar dikatakan, “Dari Sulaiman seorang budak yang dimerdekakan oleh Maimunah, dia berkata, “Saya mendatangi Ibnu Umar yang sedang duduk di ubin, sedangkan orang-orang yang sedang melakukan shalat di masjid. Saya berkata, “Apa yang menghalangi engkau shalat bersama orang-orang?” Dia menjawab, “Sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian shalat dua kali dalam satu hari untuk satu shalat.” (Abu Dawud “Al-Shalat” 579, An-Nasa’i “Al-Imamah” 2/114, Ahmad 2/19 dan Ahmad Syakir telah menshahihkan hadits tersebut 4689. Pengertian yang dimaksud: Mengulangi satu shalat dengan dua kali berjama’ah).
Kelompok yang mewajibkan berjama’ah berkata, “Keutamaan itu tidak mengharuskan lepasnya tanggungan (kewajiban) dari segala segi, baik bersifat mutlak atau bersifat membatasi. Karena keutamaan itu merupakan hasil perbandingan antara yang diunggulkan dengan yang diungguli dari segala segi. Seperti firman Allah, أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَنَّةِ يَوۡمَٮِٕذٍ خَيۡرٌ۬ مُّسۡتَقَرًّ۬ا وَأَحۡسَنُ مَقِيلاً۬ “Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.” (Al-Furqan: 24). Dan firman Allah ta’ala, قُلۡ أَذَٲلِكَ خَيۡرٌ أَمۡ جَنَّةُ ٱلۡخُلۡدِ “Katakanlah, Apa (adzab) yang demikian itukah yang baik atau surga yang kekal…” (Al-Furqan: 15). Dan masih banyak firman Allah yang semacam itu.
Keberadaan shalat sendiri itu merupakan satu bagian dari dua puluh tujuh bagian dari shalat secara keseluruhan, yang tidak bisa menggugurkan kefardhu’an shalat berjama’ah. Dan keberadaan shalat berjama’ah yang dianggap perbuatan sunnat, hanya merupakan satu segi dari beberapa segi yang ada pada shalat berjama’ah. Tujuannya adalah melaksanakan kewajiban keduanya dan diantara keduanya itu ada keutamaan yang dikandung oleh keduanya. Dua orang laki-laki yang berdiri dalam shaf (barisan shalat) yang sama dan diantara shalat keduanya itu terdapat yang lebih utama, laksana antara langit dan bumi.
Dalam beberapa kitab Sunan diungkapkan dari Rasulullah saw, “Sesungguhnya seseorang yang melakukan shalat, maka pahalanya tidak ditulis baginya kecuali setengahnya, sepertiganya, seperempatnya, sepertlimanya, sehingga mencapai sepersepuluhnya.” (“Al-Musnad” 4/319 dan 321, Abu Dawud “Al-Shalat” 796, An-Nasa’i dalam kitab Al-Kubra dari Tuhfatul Asyraf 10356 dan Ibnu Hibban “Al-Shalat” 1889).
Jika kita menganalisa dua orang yang sama-sama melakukan shalat fardhu, dimana shalat salah seorang di antara keduanya itu lebih utama dari shalat yang lainnya dengan perbandingan sepuluh pahala, padahal keduanya sama-sama melakukan shalat fardhu. Begitu juga perumpamaan shalat sendiri dengan shalat berjama’ah.
Lebih jauh Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada bagian (pahala) dari shalatmu, kecuali apa yang engkau pikirkan (mengerti) dari shalat itu, apabila seseorang shalat dan dia tidak mengerti dari shalatnya itu, maka dia hanya mendapatkan satu bagian, dan pahala baginya sesuai dengan ukuran yang satu bagian itu, walaupun dia terlepas dari beban (kewajiban). Begitu juga dengan shalat yang dilakukan sendirian, baginya hanya mendapat satu bagian (pahala), walaupun dia terlepas dari beban (kewajiban) shalat.”
Perumpamaan shalat tersebut, oleh pembuat syara’ (Allah) tidak dinamakan dengan sah. Hal itu hanya diistilahkan oleh para fuqaha (ahli hukum Islam). Karena keabsahan yang mutlak itu adalah terciptanya pengaruh dari suatu perbuatan dan tercapainya apa yang dikehendaki. Hal ini telah meniadakan pengaruhnya yang sangat besar dan tidak tercapainya apa yang dikehendaki secara jelas. Dengan demikian maka hal itu dianggap jauh sekali dari kebenaran dan kesempurnaan, yaitu dengan ketentuan terhindarnya dari siksaan, kalaupun perbuatan itu menghasilkan sesuatu berupa pahala, namun hanya satu bagian. Hal ini semata-mata ucapan orang-orang yang tidak mau menjadikan berjama’ah itu sebagai syarat sah shalat.
Adapun orang-orang yang menjadikan berjama’ah itu sebagai syarat sah shalat dan tidak sah shalatnya seseorang yang tidak berjama’ah. Maka jawabannya adalah keutamaan itu ada apabila yang dibandingkan itu antara dua shalat yang sah. Dan shalat seseorang yagn dilakukan sendirian, hal itu baru dianggap sah apabila adanya alasan-alasan syar’i. Adapun apabila tidak ada alasan syar’i maka shalatnya dianggap tidak sah. Sebagaimana telah dikatakan oleh para sahabat Rasulullah saw.
Seandainya mereka menganggapi pernyataan tersebut di atas, mereka akn menampakkan kembali pertentangannya, dengan mengatakan bahwa, “Sesungguhnya orang yang terkena alasan syar’i, tetap baginya mendapatkan pahala yang sempurna.” Mereka akan menjawab dengan mengatakan, “Sesungguhnya dia itu tidak berhak mendapatkan pahala yang sempurna dari segi perbuatannya kecuali hanya mendapat satu bagian pahala.” Adapun kesempurnaan pahala itu bukan dilihat dari segi perbuatannya, tetapi dilihat dari segi niatnya. Jika dia terbiasa shalat berjama’ah, kemudian dia sakit atau dipenjara atau sedang berpergian dan dia tidak bisa melakukan berjama’ah karena adanya alasan syar’i tersebut. Dengan demikian maka sempurnalah pahala baginya. Padahal shalat berjama’ah itu lebih utama dari shalatnya itu apabila dilihat dari segi kedua perbuatan itu.
Mereka berkata, “Hal ini sudah pasti dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena nash-nash hadits shahih sangat jelas sekali, bahwa tidak ada shalat bagi orang yang mendengar seruan adzan, kemudian dia shalat sendirian. Maka yang dimaksud dengan baginya mendapat satu bagian pahala itu bagi orang yag melakukan shalat sendiri karena adanya alasan syar’i?”
Mereka berkata, “Allah ta’ala mengutamakan orang yang mampu melaksanakan dari orang yang tidak mampu, walaupun Allah tidak sampai menyiksanya. Hal itu semata-mata karena Allah memberikan keutamaan itu kepada orang yang dikehendaki-Nya.”
Dalam shahih Bukhari dari Imran bin Hushain, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang shalat seseorang yang dilakukan dambil duduk. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang melakukan shalat sambil berdiri, maka itu lebih utama, dan barangsiapa yang melakukannya sambil dudu, maka baginya setengah dari pahala orang yang berdiri, dan barangsiapa yang melakukannya sambil tiduran, maka baginya setengah pahala dari pahala orang yang duduk.” (Bukhari “Mengqoshor Shalat” 1115).
Hal ini ditujukan bagi orang-orang yang melakukannya karena adanya alasan-alasan syar’i. Jika tidak ada alasan syar’i, maka ia tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun. Apabila shalat yang dilakukannya shalat sunnat, maka dia tidak akan mendapatkan pahala sunnat. Karena tidak pernah satu hari pun dalam setahun Rasulullah saw dan para sahabat Nabi saw yang nota bene senang melakukan berbagai macam ibadah dan kebaikan, tidak pernah melakukan hal itu. Oleh karena itu mayoritas ulama melarang sambil tiduran kecuali bagi orang yang tidak mampu melakukannya sambil duduk. Sebagaimana Rasulullah saw telah bersabda kepada Imran, “Shalatlah duduk, jika kamu tidak mampu, maka lakukanlah sambil tiduran.” (Bukhari 1117). Imran bin Hushain ini adalah perawi kedua hadits tersebut dan dia juga yang menanyakan kedua permasalahan tersebut kepada Nabi saw.
Adapun argumentasi kamu yang bertitik tolak dari haditsnya Utsman bin Affan, “Barangsiapa yang shalat Isya dengan berjama’ah, maka seakan-akan dia melakukan shalat setengah malam.” Termasuk argumentasi yang cacat. Dan nampak sekali dalil yang bertentangan bagi kamu seperti dalam gambaran sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan ditambah dengan enam hari dari bulan Syawal, maka seakan-akan ia berpuasa setahun penuh.” (Muslim “Puasa” 1164, At-Turmudzi “Puasa” 759, Ibnu Hibban “Puasa” 1716 dan Abu Dawud “Puasa” 2433 dan lafadz hadits tersebut di atas adalah lafadznya Abu Dawud). Puasa setahun penuh itu bukan wajib. Telah diserupakan perbuatan (puasa setahun) itu dengan puasa yang wajib. Bahkan yang benar itu adalah sesungguhnya berpuasa setahun penuh itu hukumnya adalah makruh. Dengan demikian telah diserupakan puasa yang makruh (puasa setahun penuh) dengan puasa yang wajib (puasa Ramadhan). Maka tidak dilarang menyerupakan sesuatu yang wajib dengan sesuatu yang disunnatkan dari segi pelipatgandaan pahala terhadap sesuatu yang wajib yang sedikit sehingga pahala dari perbuatan wajib yang sedikit itu mencapai (sama) dengan pahala perbuatan sunnat yang banyak.
Begitu juga argumentasimu yan bertitik tolak kepada haditsnya Yazid bin Al-Aswad, Mahjan bin Al-Adra’, Abi Dzar dan Ubadah. Sebenarnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengemukakan bahwa, “Sesungguhnya seseorang telah shalat sendirian, padahal dia mampu melakukan shalat berjama’ah.” Seandainya hal itu dikabarkan kepada Nabi saw, maka beliau tidak akan menetapkannya, dan beliau akan mengingkarinya. Begitu juga Ibnu Umar tidak pernah mengatakan, “Saya shalat sendiri, padahal saya mampu melakukan shalat berjama’h.”
Dapat kami katakan bahwa Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah di saat dia bisa melakukannya. Dan kami katakan sebagaimana para sahabat Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya tidak ada shalat baginya.” Seandainya mereka itu melakukan hal itu, maka harus dilihat dari dua segi. Pertama, sesungguhnya mereka melakukan shalat berjama’ah dengan jama’ah lain, di luar jama’ah yang biasa mereka lakukan. Atau hal itu mereka lakukan karena adanya alasan-alasan syar’i pada saat datangnya waktu shalat. Barangsiapa yang melakukan shalat sendirian karena ada alasan syar’i kemudian alasan syar’i itu hilang setelah selesai melakukannya (shalat), maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Sebagaimana tidak perlu mengulang shalatnya kalau seseorang shalat dan bersuci (berwudhu’)-nya dengan ta’yamum, atau seseorang yang shalat sambil duduk karena sakit, kemudian alasan-alasan syar’i tersebut hilang setelah selesai melakukan shalatnya. Begitu juga tidak perlu mengulang shalat orang yang melakukan shalat dalam keadaan telanjang dan setelah selesai shalat dia menemukan penutup aurat.
Mereka berkata, “Hukum-hukum syara’ (agama) telah menunjukan bahwa shalat berjama’ah itu hukumnya fardhu bagi setiap orang. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa segi:
Pertama, sesungguhnya menjama’ shalat karena alasan tujuan hukumnya jaiz (diperbolehkan), hal ini semata-mata untuk menjaga berjama’ah. Jika bukan ditujukan untuk menjaga berjama’ah, maka sangat mungkin sekali setiap orang yang ada di rumah melakukan shalat dengan sendiri-sendiri. Seandainya shalat berjama’ah itu hukumnya sunnat, maka tidak diperbolehkan meninggalkan yang wajib, dan mendahulukan shalat (jama’ taqdim) hanya karena pertimbangan semata-mata.
Kedua, sesungguhnya orang yang sakit yang tidak mampu berdiri dan dalam shalat berjama’ah dan dia mampu berdiri dalam shalat sendirian, maka shalatlah dia dengan berjama’ah walaupun tidak sambil berdiri. Mustahil sekali meninggalkan satu rukun shalat, hanya karena pertimbangan sunnat semata-mata.
Ketiga, sesungguhnya shalat berjama’ah dalam kondisi ketakukan dilakukan dengan cara mafaraqah (berpisah dari shalatnya) imam dan mereka (si makmum) melakukan beberapa hal (perbuatan) dalam shalat tersebut dan pada pertengahan shalat si makmum meninggalkan imamnya dalam keadaan sendiri (sedangkan si makmum menyelesaikan shalatnya). Hal ini dilakukan semata-mata supaya terlaksananya shalat berjama’ah. Padahal sangat memungkinkan sekali seandainya mereka melakukan shalat secara sendiri-sendiri tanpa harus melakukan berjama’ah. Mustahil sekali melakukan hal ini dan meninggalkan perbuatan yang lainnya hanya semata-mata pertimbangan sunnat semata yang nota bene perbuatan tersebut terserah mau dikerjakan atau tidak. Dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk.
Sumber Materi : http://rezakahar.wordpress.com/kumpulan-hadist/bab-shalat/apakah-shalat-berjamaah-di-masjid-wajib-ataukah-sunnah/
Terima kasih telah membaca artikel tentang Apakah Shalat Berjama’ah Merupakan Syarat Sah Shalat atau Tidak ? - Informasi Islami di blog Islamic Information jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.