Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com

Sejarah islam pada masa khilafah abbasiyyah Informasi Islami

Masa Kejayaan Islam Pada Masa Ke Khalifahan Bani Abbasiyyah dari awal hingga Akhir - Informasi Islami
Keluarga Abbasiyah
Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdi Manaf meninggalkan beberapa orang putera. Diantaranya Abdullah (ayahanda Nabi Muhammad), Abbas dan Abu Talib. Akan tetapi yang mempunyak keturunan banyak hanyalah Abbas dan Abu Thalib. Mereka berdua menurunkan keluarga besar yang tersebar seantero Daulat Islam, dari ujung Barat Afrika-Utara sampai ke negeri-negeri Asia-Tengah.

Abbas dilahirkan tiga tahun sebelum tanuh gajah. Berarti lebih tua tiga tahun dari Rasulullah. Ibunya bernama Nutailah binti Janab. Abbas seorang pemuka Bani Hasyim dan seorang cendikia suku Quraisy. Ia sahabat karib Abu Sufyan bin Harb. Dikala agama Islam mulai disiarkan Nabi, dia menjadi penolong Nabi yang mukhlis. Ia dimuliakan dan dicintai Rasulullah s.a.w. dan Khalifah-khalifah setelahnya. Ia wafat pada masa pemerintahan Utsman bin Affan.

Abdullah bin Abbas adalah putera kedua dari Abbas. Ia lahir dua tahun sebelum Hijrah. Ketika Nabi wafat umurnya baru tiga belas tahun. Ia kekasih dan kesayangan Nabi. Di zaman Umar bin Khattab ia menjadi anggota dewan penasehat Khalifah yang istimewa. Sekalipun ketika itu usianya masih amat muda, tapi kerap kali Umar menanyakan hukum-hukum dan berbagai masalah kepadanya. Dari keturunan Abdullah inilah lahir keluarga Abbasiyah, dan saudara-saudaranya yang lain tidak mempunyai keturunan.

Ali bin Abdullah adalah salah satu putera Abdullah. Ia lahir dimalam terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Talib. Untuk memperingati kematian itu maka Abdullah memberi nama puteranya dengan Khalifah itu.

Muhammad bin Ali adalah sulung dari 20 putera laki-laki Muhammad dan 11 putera wanitanya. Dia inilah ayahanda Ibrahim al-Imam, Abul Abbas Assafah dan Abu Ja’far al-Manshur. Dan tiga putera Muhammad inilah yang menjadi tulang-punggung Daulat Abbasiyah.
Zaman Keemasan Daulat Abbasiyah

Lima Abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki singgasana Khalifah Islam, mulai dari tahun 132 H. (749 M.) yaitu tahun dikukuhkannya Abul Abbas Assafah, sampai jatuhnya Baghdad oleh serbuan orang Mongol-Tartar dibawah kepemimpinan Hulako pada tahun 656 M. (1258 M.).
Adapun masa Daulat Abbasiyah dari permulaannya sampai ke zaman Khalifah al-Watsiq Billah tahun 232 H. (879 M.) adalah masa kejayaan Daulat Bani Abbas, maka ketinggian dan kebesaran, maka itu adalah zaman keemasan Islam yang sangat gemilang.

Masa Kejayaan Islam Pada Masa Ke Khalifahan Bani Abbasiyyah


1- ABUL ABBAS ASSAFAH
(132 – 136 H. = 749 – 754 M.)
Pada tanggal 13 Rabi’ul Awwal 132 H. (30 Oktober 749 M.), Abul Abbas Assafah dibai’at menjadi Khalifah yang pertama dari keluarga Abbasiyah di kota Kufah. Ketika itu Marwan bin Muhammad masih hidup. Baru pada tanggal 5 Agustus 750. (27 Dzulhijjah 132 H.( Khalifah Umayyah yang terakhir itu menemui ajalnya dalam pertempuran dengan tentara Abbasiyah di Alfayaum (Mesir). Tidak lama kemudian Abul Abbas Assafah pindah ke Hirah, kemudian ke Anbar dan kota ini kemudian dijadikan sebagai ibukota Khilafahnya, dengan nama Hasyimiyyatul Anbar, yang sekaligus menjadi peringatan bagi Kakek Bani Abbas, yaitu Hasyim.

Semula keluarga Abbasiyah ini akan mengambil Damaskus menjadi ibukota Khilafahnya, namun karena disana masih banyak pengikut keluarga Bani Umayyah, apalagi jauh dari Persia, pusat kekuasaan mereka, dan dengan dari batas Imperium Romawi Timur yang mungkin membahayakan daulatnya yang masih sangat muda itu, maka ia menjadikan kota baru itu sebagai ibukotanya.

Siasat Abul Abbas Assafah
Selama masa pemerintahannya, Assafah berusaha mengkokohkan sendi-sendi khilafahnya. Siasatnya itu dapat diketahui dari pidatonya yang pertama di Kufah, saat ia dibai’at. Dalam pidatonya itu ia menyatakan keutamaan keluarga Muhammad dan kejelekan Bani Umayyah, karena perbuatan mereka merampas pangkat Khalifah. Dia mencela tentara Syam, memuji penduduk Kufah karena kejujuran mereka membantu keluarga Bani Abbas menegakkan Daulatnya. Pidato itu diakhiri dengan ucapan: “Sayalah Assafah yang tidak gentar menumpahkan darah apabila perlu” Maksudnya berkata demikian ialah akan menegaskan kepada musuh-mushnya, khususnya keluarga Bani Umayyah, bahwa barangsiapa yang berani menentang dia dan menghalangi Daulatnya, akan berhadapan dengan ujung pedang Assafah”. Maka dari itu lekat sekali gelar yang disandangnya yaitu ‘Assafah’ sang penumpah darah.

Assafah Penumpah Darah
Abul Abbas Assafah mempergunakan sebagian masa pemerintahannya untuk memerangi panglima-panglima Arab yang setia kepada Bani Umayyah, bahkan seluruh keluarga Bani Umayyah dimusnahkan, kemanapun anggota keluarga Bani Umayyah besar maupun kecil dikejar dan dibunuh. Mereka tidak puas dengan menghina keturunan keluarga itu yang masih hidup dan merampas harta bendanya.

Abdullah bin Ali paman Assafah dan Gubernurnya di Syam mengadakan penyembelihan umum menghabiskan para Amir Bani Umayyah, sebagian besar mereka itu dipanggil untuk menghadiri suatu jamuan dan ditempat itu mereka dibunuh.
Ia juga menumpahkan darah orang-orang yang menjadi penolong berdirinya Daulat Abbasiyah. Ia membunuh Abu Salmah Al-Khilaly seorang yang menjadi tangan kanannya dalam mendirikan daulatnya. Abu Salmah ini adalah penolong yang sangat besar jasanya, sehingga ia diberi gelar oleh keluarga Bani Abbas dengan ‘Wazir keluarga Muhammad’. Abu Salmah dibunuh karena dicurigai akan memindahkan khilafat kepada keluarga Alawiyyin (keturunan Ali bin Abi Talib). Ia juga bermaksud membunuh Abu Muslim Al-Khurrasani, karena ia takut kalau-lakau panglima ini akan membahayakan daulatnya, karena pengaruhnya semakin lama semakin besar. Akan tetapi keinginan itu tidak kesampaian karena ia dijemput oleh ajalnya. Kemudian pembunuhan atas Abu Muslim Alkhurrasani dilakukan oleh Khalifah berikutnya.
Abul Abbas Assafah wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah tahun 136 M. (9 Juni 754 M.) sesudah ia memerintah selam 4 tahun 9 bulan.


2- ABU JA’FAR AL-MANSHUR
(136 – 158 H. = 754 – 775 M.)
Awal Kejayaan Daulat Bani Abbas
Abu Ja’far Al-Manshur menjadi Khalifah sejak saudaranya Assafah wafat. Ia juga dipandang sebagai pendidi yang hakiki bagi Daulat al-Abbasiyah, karena dialah yang membuat dan merealisasikan tata negara Daulatnya.

Pada masanya kejayaan dan pekembangan ilmu pengetahuan berkembang pesar, maka dari itu pada masa berikutnya Daulat Bani Abbas mencapai masa kejayaannya. Pada masa itu juga berkembang pengaruh Persia, sehingga Khalifah-khalifah Bani Abbas mentransfer beberapa kebudayaan Persia, seperti adat-istiadat istana dan peraturan negara yang digunakan para Kisra Persia. Dalam Istanapun orang Perialah yang berpengaruh, Orang Arab makin lama semakin tersingkir.
Pada awal pemerintahannya Khalifah Al-Manshur menghadapi berbagai macam kesulitan yang dapat diatasinya dengan ketabahan dan keteguhan hatinya. Sifat-sifat inilah yang melangsungkan kemenangan Khalifah dalam segala usahanya. Diantara kesulitan yang dihadapi Al-Manshur adalah pendurhakaan pamannya sendiri yaitu Abdullah bin Ali, keingkaran Abu Muslim al-Khurrasani dan pemberontakan kelompok Alawiyyin.

Pendurhakaan Abdullah bin Ali
Abdullah menyatakan bahwa Assafah telah menjanjikan bahwa sepeniggalnya kelak ialah yang akan menggantikannya, jika ia dapat memusnahkan seluruh kekuatan Marwan bin Muhammad dan para pengikutnya. Pengakuan ini diakui oleh sebagian orang, lalu mereka membaiatnya. Oleh karena itu Abdullah tidak mau membai’at al-Manshur. Untuk menaklukkan pemberontakan ini Al-Manshur memerintahkan panglima Abu Muslim Al-Khurrasani ke Syam.

Diantara tentara Abdullah bin Ali di Syam terdapat 17.000 orang tentara Abu Muslim Al-Khurrasani. Oleh karena itu ia takut kalau mereka nanti menggabungkan diri dengan barisan Abu Muslim, maka ia membinasakan mereka dengan tipu muslihatnya. Dengan demikian Abdullah telah melemahkan kekuatannya sendiri dengan tangannya sendiri. Dengan demikian tidak terlalu sulit bagi Abu Muslim untuk dapat menindas perlawanannya. Dia tertangkap lalu dipenjarakannya sampai ia meninggal dalam tahanan.




Keingkaran Abu Muslim Al-Khurrasani
Khalifah al-Mansyur sangat benci danmarah kepada Abu Muslim ketika dia telah membanggakan dirinya, tidak mentaati perintah Khalifah lagi dan terlalu banyak menumpahkan darah dengan tidak ada sebag yang nyata. Khususnya lagi ia telah menyatakan keingkarannya kepada Khalifah Al-Manshur. Atau boleh juga dikatakan kebesaran pribadi Abu Muslim, dirasa membahayakan kedudukan Al-Manshur. Al-Manshur selalu mencari peluang yang baik untuk membinasakannya. Akhirnya pada saatnya ia memanggil Abu Muslim dan dengan tipu muslihanya ia dapat membunuhnya. Setelah Abu Muslim wafat, Al-Manshur merasa tidak ada lagi kekuagan yang mengancam kedaulatannya.

Pemberontakan Alawiyyin
Keluarga Abbasiyah beruntung dapat merebut kursi Khilafah. Mereka menegakkan daulatnya atas pusara reruntuhan Daulat Bani Umayyah. Hal ini tidak menyenangkan hati kaum Alawiyyin, karena mereka yakin bahwa mereka lebih berhak menduduki singgasana Khilafah daripada yang lainnya. Oleh sebab itu mereka menyatakan permusuhan atas keluarga Bani Abbas. Apalagi ketika hendak menghancurkan kekuatan Bani Umayyah mereka lebih mengutamakan nama Bani Hasyim daripada Bani Abbas, tetapi setelah berhasil mereka ditinggalkan.

Pada tahun 145 H. muncullah di Hijaz Muhammad bin Abdillah al-Alawy. Disana ia dikukuhkan menjadi Khalifah. Dia mengirimkan saudaranya Ibrahim ke Basrah untuk menyiarkan Dakwanya supaya penduduk kota itu turut membai’at dia.

Muammad bin Abdullah dituntukkan dan dibunuh oleh Al-Manshur pada tahun 145 H. Sepeninggal Muhamad bin Abdullah, Ibrahim bangun dan mengangkat dirinya menjadi Khalifah di Irak dan Persia. Akan tetapi nasibnya sama dengan saaudaranya Muhammad. Ia mati dibunuh pada tahun 146 H.

Siasat Luar Negeri Al-Manshur
1. Terhadap Imperium Byzantium
Orang-orang Byzantium senantiasa mengintai kelemahan-kelemahan Bani Umayyah. Untuk melanarkan serangan mereka ke negeri-negeri Islam yang berbatasan dengan negeri mereka. Byzantium mengerahkan tentaranya menyerang Syam di zaman Khalifah Al-Manshur pada tahun 138 H. Penyerangan ini dapat ditangkis oleh laskar Abbasiyah. Peperangan itu diakhiri dengan perjanjian genjatan senjata selama 7 tahun.
Setelah Khalifah Al-Manshur memadamkan pemberontakan kaum Alawiyyin, penyerangan ke Byzantium dimulai. Maka terpaksa Kaisar Byzantium minta berdamai dan berjanji akan membayar upeti tahunan kepada Khalifah Abbasiyah.


2. Terhadap negeri Andalus
Negeri Andalus telah melepaskan diri dari Daulat Abbasiyah, sesudah berdiri disana Daulat Bani Umayyah tahun 138 H. (757 M.) dengan usaha Amir Abdurrahman Ad-Dakhil bin Mu’awiyah bin Hisyam. Amir ini melarikan diri katika dilakukan sapu bersih atas keluarga Bani Umayyah. Al-Manshur tak dapat menaklukkan negeri itu karena jauhnya jarak dari Khilafah Bani Abbas. Apalagi ketika itu ia sedang menindas huru-hara dan pemberontakan dalam negeri. Maka Al-Manshur bersahabat dengan Pepyn raja Frank serta bertukaran duta dan bingkisan. Dan raja itu dihasutnya supaya memerangi Abdurrahman.

3. Terhadap Afrika
Bangsa Barbar di Afrika Utara tidak senang dipimpin oleh Orang Arab yang berlaku aniaya atas mereka. Mereka diperlakukan oleh wali-walinya bukan sebagai sasama saudara, melainkan seperti penjajah dengan terjajah, walaupun mereka telah masuk Islam. Ketika Daulat Bani Umayyah melemah mereka berontak dan mendirikan beberapa wilayah merdeka. Akan tetapi tidak lama para Amir Barbar berselisih antar mereka. Peluang ini digunakan oleh Al-Manshur untuk menaklukkan daerah itu kembali, pada tahun 144 H. Kota Kairawan silih berganti dikuasai oleh laskar Arab kemudian Barbar dan sebaliknya, mulai 155 H. kota itu sempurna dikuasai oleh laskar Abbasiyah.

Pembangunan yang dilakukan oleh Al-Manshur
Mendirikan kota Baghdad dan kota-kota lain
Khalifah Al-Manshur mendirikan kota Hasyimiyatul Kufah untuk ibukota negaranya. Kemudian dibangun pula kota Baghdad ditempat yang sangat strategis, tidak terlalu jauh dari laut, dan terletak diantara sungai Tigris dan Euptrat. Juga dibangun kota Ar-Rushafah dipinggir Timur sungai Tigris. Kota Baghdad dijadikannya sebagai markas besar tentaranya.

Zaman mengarang dan terjemah
Al-Manshur menggiatkan para pujangga untuk mengarang dan menterjemahkan buku-buku dari bahasa Persia, Yunani dan Hidu ke dalam bahasa Arab. Ia sendiri gempar akan ilmu kedokteran, falak dan riyadhiyat. Maka kota Baghdad menjadi hidup dan menjadi pusat ilmu pengetahuan dan peradaban. Di zamannya lahirlah beberapa orang pujangga, pengarang, penterjemah, diantara Ibnu Muqaffa’ penerjemah buku Kalilah dan Daminah.



Hemat cermat dalam segala pekerjaan
Khalifah Al-Manshur sangat hemat dan cermat dalam menjaga peraturan. Dia terkenal rajin dan berhati hati dalam pengaturan istananya. Senantiasa ingat dan waspada dalam segala pekerjaannya. Hal ini terbukti dengan perkataannya: “Pintu istanaku hendaklah senantiasa dilalui oleh empat orang, mereka itu adalah tiang khilafah. Manakala mereka kurang seorang saja, maka khilafah tidak akan tegak, laksana kursi yang tidak tegak kecuali dengan empat kaki. Mereka itu ialah: 1- Hakim yang adil, 2. Kepala intelejen yang mengawasi sepak terjang para pejabat, 3. Kepala perpajakan yang adil lagi tidak aniaya, 4. Jawatan Pos yang senantiasa membawa berita yang benar kepadaku tentang perbuatan-perbuatan pembesar-pembesar Khilafah.

Al-Manshur mempergunakan kepada-kepala jawatan Pos dengan sebaik-baiknya. Mereka yang menjadi mata kepalanya mengawasi segala perihal khilafah. Dengan demikian Al-Manshur dapat mengetahui segala perbuatan para Gubernurnya sebagaimana hukum yang diputuskan oleh para Hakimnya, berapa uang yang masuk ke dalam Baitul Mal dan lain-sebagainya.

Kepala-kepala jawatan pos selalu melaporkan harga pasaran dari segala macam barang, makanan dan barang yang lain. Oleh karena itu hubungan dengan para Gubernur sangat dekat. Kalau harga barang-barang naik jauh melebihi harga biasa, diperintahkannya agar harga itu diturunkan seperti sediakala. Bia dilihat seorang pegawainya berlaku lalai atau kurang hati-hati, dicelanya dan dipecat dari jabatannya.

Khalifah Al-Manshur terkenal hemat mengeluarkan perbelanjaan dan pemberian, sehingga dikala ia wafat perbendaharaan negara melimpah dan dapat dibelanjakan untuk sepuluh tahun kemudian lamanya. Walaupun demikian ia memiliki kekurangan, diantaranya adalah penumpahan darah dan kecurangan atas beberapa orang yang dijamin keamanan jiwanya.
Al-Manshur wafat pada tanggal 7 Dzulhijjah 158 H. (8 Oktober 775 M.). Ia digantikan oleh puteranya Al-Mahdi.


3- AL-MAHDI
(158 – 169 H. = 775 – 785 M.)
Masa Pembaharuan dan Peralihan
Khalifah Al-Mahdi memerintah selama 10 tahun. Masa pemerintahannya dipandang sebagai masa peralihan antara zaman kekerasan yang menjadi ciri Khalifah-khalifah Bani Abbas yang terdahulu kepada zaman sederhana dan lemah lembut yang menjadi perhiasan masanya dan Khalifah-khalifah kemudian.

Al-Mahdi memulai masa pemerintahannya dengan bermacam-macam perbaikan dan pembangunan, berkat harta peninggalan yang amat banyak semenjak zaman Abu Ja’far Al-Manshur.
Diantara usahanya ialah memdirikan bangunan-bangunan tempat air disepanjang jalan ke Mekkah untuk minuman kafilah yang berlalu, dan memperluas Masjidil Haram. Dia membeikan perbelanjaan tetap kepada orang lemah yang tak mampu lagi bekerja agar tidak mengemis.

Diantara Makkah, Madinah dan Yaman dibangun jawatan pos berunta dan berkuda, peraturannya disempurnakan. Al-Mahdi juga dikenal pemurah dan dermawan, sehingga sifatnya yang utama ini hampir mendekati sifat boros.

Sikapnya terhadap orang Zindik (Atheis)
Al-Mahdi tidak selalu belemah lembut, ia juga kerap kali berlaku keras dan kasar atas orang-orang yang durhaka, khususnya kepada orang Zindik (Atheis), yang lahir di masa pemerintahannya. Kaum ini menghalalkan yang haram dan merusak tatanan kesopanan dan budi pekerti. Al-Mahdi berusaha menindas golongan ini, sehingga untuk itu dia mendirikan suatu jawatan istimewa dikepalai oleh seorang yang pangkatnya bernama ‘Shahibuz Zanadiqah’. Tugasnya ialah membasmi dan mengikis kaum dan ajarannya. Pengikisan terhadan kaum ini dilanjutkan oleh Khalifah berikutnya Musa Al-Hadi.

Siasat Luar Negeri
Di zaman Al-Mahdi mulailah kerajaan-kerajaan lain menyegani dan menakuti daulat Islam karena kebesaran, keagungan dan kekuasaannya.
Perselisihan yang tidak habis-habisnya antara Bani Abbas dan keluarga Bani Umayyah di Andalus, membentangkan jalan bagi Maharaja Karel De Grote untuk bersahabat dengan Khalifah-khalifah Abbasiyah. Hal ini menguntungkan Khalifah Abbasiyah dalam usahanya menghadapi Daulat Byzantium.

Peperangan antara Daulat Abbasiyah dan Imperium Romawi Timur tiada henti-hentinya di zaman khalifah Al-Mahdi. Laskar Islam menjarah ke dalam daerah Romawi sehingga mereka sampai ke anggora (Angkara) di Asia Kecil. Untuk membalas peristiwa ini, Kaisar Byzantium mengerahkan laskarnya menyerang negeri-negeri Islam di perbatasan Siria, sampai laskar Islam bisa dipukul mundur. Kemudian tiba giliran Al-Mahdi membalas serangan itu.

Pada tahun 163 H. dibentuklah sebuah laskar besar dibawah pimpinan puteranya sendiri Harun Arrasyid, dibantu oleh panglima Khalid Al-Barmaky. Tentara ini dapat menumbangkan segala yang menghalanginya, sehingga ia dapat menaklukkan benteng Smala, sebuah benteng yang terkuat milik orang Byzantium. Pada tahun 165 H. Al-Mahdi mengadakan penyerangan sekali lagi, dengan angkatan perang yang juga dipimpin Harun Arrasyid. Kali ini Harun maju sampai ke tepi selat Bosporus, sehingga ia dapat memaksa Ratu Irene (pemangku jabatan Kaisar mewakili puteranya Constantyn VI yang masih kecil th.780 – 797 M.) membayar upeti tiap tahun kepada Daulat Islam, banyaknya 90.000 dinar. Peperangan inipun berakhir dengan perjanjian peletakan senjata antara kedua belah pihak dalam masa tiga tahun lamanya.

Di zaman Al-Mahdi ummat Islam juga memperluas dakwahnya di negeri-negeri sebelah Timur. Mereka memasuki tanah Hindustan. Mereka menghadapi beberapa pertempuran yang hebat. Mereka membakar kuil-kuil dan patung-patung Budha. Kan tetapi penjarahan ini akhirnya menimbulkan bencana besar atas angkatan perang Abbasiyah. Mereka banyak yang mati berkubur di dasar laut, karena kapal-kapal mereka habis musnah dihancurkan badai di teluk Persia.

Wafatnya Al-Mahdi
Pada 22 Muharram 169 H. (4 Agustus 785 M.) Khalifah Muhammad Al-Mahdi wafat. Ia berwasiat menurunkan pangkat Khalifah kepada dua orang putranya, yang pertama kepada Musa Al-Hadi dan kedua kepada Harun Arrasyid. Menurut wasiat Al-Mahdi itu pangkat Khalifah jatuh ke tangan Al-Hadi dan kemudian baru kepada Harun Arrasyid.


4- MUSA AL-HADI
(169 – 170 H. = 785 – 786 M.)
Sebelum Al-Hadi dinobatkan sebagai Khalifah, ia banyak mempergunakan waktunya di negeri Masyrik. Di kala ia dinobatkan ia sedang berada disana menghadapi peperangan. Peristiwa yang telah banyak dialaminya di Masyrik itu, berpengaruh besar atas perjalanan siasat, akhlak serta budinya.

Menghadapi Golongan Alawiyyin
Keluarga keturunan Ali bin Abi Thalib kaum Alawy, dimana-mana selalu berusaha hendak mencapai pangkat Khalifah, sebab menurut keyakinan mereka, pangkat itu adalah hak khusus bagi mereka. Di zaman Khalifah Musa Al-Hadi mereka mengadakan pemberontakan di Hijaz, mereka dikepalai oleh Husein bin Ali cucu dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Di Madinah Husein mendapat kemenangan. Istana Wali di kota itu diduduki, penjara dibubarkan, penghuni tahanan dilepaskan. Maka ia dinobatkan sebagai Khalifah oleh penduduk Madinah.

Husein berangkat ke Makkah dengan membawa laskarnya, disana ia bertemu dengan laskar Abbasiyah yang dikirim Khalifah Musa Al-Hadi dibawah pimpinan panglima Muhammad bin Sulaiman. Pada suatu tempat bernama Wadi-Fuch, terletak antara Makkah dan Madinah, maka terjadilah peperangan hebat antara kedua laskar itu, Husein bin Ali beserta beberapa kerabat serta laskarnya mati terbunuh.

Peperangan di Wadi-Fuch itu tidak kalah hebat dengan peperangan Karbala. Pengaruhnya sangat besar pada perjalanan sejarah Daulat Bani Abbas. Dua diantara keturunan Ali bin Abi Talib, yang akan menjadi saingan besar bagi keluarga Abbasiyah dikemudian hari, dapat melarikan diri dari peperangan itu, mereka itu ialah Yahya bin Abdullah yang dilantik menjadi Amir di negeri Dailamy, sedangkan saudaranya Idris bin Abdullah mendirikan Daulat Bani Idris di Maghribil Aqsa (Maroko).

Wafatnya Al-Hadi
Pada tanggal 14 Rabi’ul Awwal 170 H. (13 September 786 M.) Khalifah Al-Hadi wafat pada umur 26 tahun sesudah memerintah setahun tiga bulan. Dia digantikan oleh saudaranya Harun Arrasyid.
Semula Al-Hadi bermaksud akan membatalkan hak saudaranya itu sebagai Putera Mahkota dan henadak membai’at puteranya sendiri (Ja’far). Maksudnya itu disetujui oleh pembesar-pembesar istananya. Hanya seorang dari mereka yang tidak menyetujuinya yaitu Yahya bin Khalid Al-Barmaky, yang berani menasehati, agar ia mengurungkan niatnya karena Ja’far masih kanak-kanak. Apa lagi ia wajib memuliakan janji yang telah diikrarkannya ketika ia dilantik menjadi Putera Mahkota oleh ayahandanya. Akan tetapi nasehat itu tdak diindahkannya, bahkan Yahya sendiri dimasukkan dalam penjara dan akan dibunuhnya. Tapi untung maksudnya itu tidak terlaksana karena ia menemui ajalnya.


5- HARUN ARRASYID
(170 – 193 H. = 786 – 809 M.)
Khalifah yang termasyhur
Khalifah Harun Arrasyid dinobatkan sebagai Khalifah di hari wafatnya Al-Hadi. Ia adalah Khalifah yang paling terkenal diantara Khalifah Abbasiyah. Di zamannya kota Bagdad mencapai puncak kejayaannya, kemegahannya belum pernah ditemui sebelumnya.

Harun Arrasyid mengendalikan daulatnya dengan sebaik-baiknya, sehingga pemerintahannya menjadi tolok ukur oleh bangsa-bangsa sepanjang zaman. Banyak sekali riwayat dan ceritera di kalangan orang yang membuktikan kejayaan masa pemerintahannya. Diantaranya ialah dongeng ‘1001 malam’ yang terkenal itu. Ia selalu lapang dada, ia sangat santun dan kasih kepada para ulama, filosuf dan pujangga yang datang ke Baghdad dari segala penjuru dunia.

Masa itu didirikan pabrik-pabrik, gedung-gedung tempat penelitian perbintangan (Meteorolisch Observatorium), sekolah-sekolah dan lain-lain. Sehingga kota Baghdad ketika itu menjadi pusat ilmu pengetahuan, kebudayaan dan perniagaan dimuka bumi ini.

Tidak ada istana kaisarpun yang seramai istana Khalifah Harun Arrasyid yang dipenuhi oleh para ulama, ahli hukum, pujangga, pengarang, penyanyi, seniman dan lain-lain dari berbagai macam golongan. Sekalian mereka juga mengadakan kerja sama dengan Khalifah Harun Arrasyid. Iapun seorang penyir dan ahli riwayat. Dia seorang yang budiman, mulia, disegani, dihormati, dicintai dan ditakuti oleh rakyatnya, dari tingkatan yang paling tinggi sampai yang paling rendah.

Diantara Khalifah-khalifah Abbasiyah hanya Harun Arrasyidlah yang pernah berjalan kaki sepanjang jalan beserta pengiringnya guna menunaikan ibadah haji di tanah suci. Peristiwa ini dipandang oleh ahli sejarah sebagai suatu perbuatan yang sangat utama dalam sejaran kepemimpinannya. Di tanah suci dia membelanjakan harta kekayaannya untuk menegakkan berbagai amal kebaikan dan kebutuhan umum, sedang permaisurinya Ratu Zubaidah tidak sedikit mengeluarkan uangnya untuk penggalian mata air yang dialirkan ke kota Makkah. Sampai kini mata air itu masih ada, bernama: ‘Mata air Zubaidah’.

Harun Arrasyid dan kaum Alawiyyin
Khalifah Harun Arrasyid sangat besar keinginannya untuk memperbaiki dan mendekatkan hubungan keluarga Abbasiyah dengan keluarga Alawiyyin. Ia terlalu bersikap lembut kepada mereka. Diantara mereka yang terpenjara di Baghdad dilepaskan. Akan tetapi kaum Alawiyyin itu sekali-kali tidak mau mengubah pendiriannya, bahwa hanya keluarga mereka sajalah yang berhak menjadi Khalifah. Apalagi hal itu sudah menjadi doktrin politik mereka. Maka dari itu tidak bosan-bosan mereka berusaha mencapai pangkat itu.

Menghadapi Yahya bin Abdullah
Di Dailam, yaitu suatu negeri di sebelah Selatan laut Kaspia, timbul gerakan kaum Alawiyyin yang dipimpin oleh Yahya bin Abdullah cicit dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Hampir seluruh penduduk Dailam mendukung gerakan Yahya itu dan nyaris membahayakan Daulat Abbasiyah.

Harun Arrasyid berusaha menindas gerakan itu. Untuk melaksanakan maksudnya itu ia memerintahkan panglima Fadhal bin Yahya al-Barmaky membawa 50.000 pasukan ke negeri itu. Fadhal meneladani sikap Harun Arrasyid, yaitu dengan bujukan yang lemah lembut. Yahya bin Abdullah dibujuknya agar berdamai dengan Harun Arrasyid.

Yahya bersedia menerima permintaan itu asal Khalifah Harun Arrasyid mau menuliskan surat jaminan keamanan jiwanya dengan tangan Rasyid sendiri, serta disaksikan oleh para fuqaha dan qadhi Baghdad serta para pembesar Bani Hasyim.

Kehendak Yahya itu dikabulkan oleh Harun Arrasyid, dan surat jaminan itu dikirimkan kepadanya beserta hadiah dari berbagai macam barang berharga.

Kemudian Yahya datang ke Baghdad beserta Fadhal, disambut oleh Harun dengan segala kehormatan dan kemuliaan. Akan tetapi tidak lama kemudian dengan beberapa pertimbangan Yahya dikurung juga oleh Rasyid di rumahnya sendiri, dengan tetap memberikan jaminan kamanan atas dirinya dicabut kembali.

Menghadapi Idris bin Abdullah
Politik Harun Arrasyid yang demikian itu dilakukan juga kepada Idris bin Abdullah. Pemuka Alawiyyin ini banyak mendapat pengikut di negeri Maghrib dari bangsa Barbar, sehingga ia dapat menegakkan kerajaan di Maroko pada tahun 172 H. (788 M.) Kerajaan itu dikenal dengan nama Daulat Bani Idris, yang berkuasa sampai pada tahun 311 H. (923 M.)

Harun Arrasyid juga mengirim seorang pembesarnya yang terkenal licin dalam politik ke Afrika, namanya Sulaiman bin Jarir. Dia diperintahkan memperhambakan diri kepada Idris dan berpura-pura membenci keluarga Abbasiyah dan pemerintahannya.

Dengan kepandaian pesuruh Harun Arrasyid itu, yang berpura-pura tulus dan tunduk kepada Idris, ia diangkat menjadi pembesar yang istimewa. Kemudian dengan sangat rahasia sekali ia memasukkan racun dalam makanan Idris sehingga ia menemui ajalnya karena penghianatan itu. Akan tetapi dengan kemangkatan itu bahaya Daulat Bani Idris belum hilang, karena pengikut Idris melantik putera bungsunya yang juga bernama Idris menjadi penggantinya.

Baru saja Harun Arrasyid selesai menghadapi kaum Alawiyyin, timbul pula kerusuhan dan pemberontakan dimana-mana, seperti di Mosul, Siria, Armenia dan Khurrasan. Walaupun kerusuhan-kerusuhan itu dapat ditanggulangi namun hal ini sangat memusingkan kepala Harun Arrasyid.

Berdirinya Daulat Bani Aghlab di Afrika
Menurut pandangan Harun Arrasyid, Afrika Utara negeri orang-orang Barbar yang selalu gelisah itu harus diberi pemerintahan sendiri dibawah perlindungan Daulat Bani Abbas. Siasat Harun Arrasyid ini akan melepaskan diri dari kesulitan menghadapi orang-orang Barbar dan untuk menghambat kemajuan Daulat Bani Idris untuk menjarahi daerah-daerah Daulat Bani Abbas.

Pada tahun 184 H. Ibrahim bin Aghlab dilantik menjadi Amir mengepalai pemerintahan disana, dengan perjanjian bahwa Ibrahim dan Amir-amir kemudian harus mengakui Khalifah-khalifah Abbasiah menjadi yang dipertuannya. Dengan demikian berdirilah Daulat Bani Aghlab di Afrika pada tahun 184 H. (800 M.) Dengan kota Kairawan sebagai ibu kotanya. Daulat ini berkuasa di Afrika sampai tahun 296 H. (908 H.).

Hubungan dengan Kaisar-kasar Tiongkok
Harun Arrasyid berniat mengekalkan keamanan di seluruh kerajaan Islam. Untuk itu ia melakukan siasat perdamaian dengan kerajan Tiongkok yang berbatasan dengan daulatnya disebelah Timur. Ia selalu bertukara hadiah dengan Kaisar-kaisar Tiongkok.

Menghadapi Byzantium
Untuk menjaga keselamatan daerahnya di sebelah Barat dari gangguan Byzantium, ia menjadikan kota Tarsus sebagai komanto laskar Islam. Kepada seorang panglimanya yang dari bangsa Turki diperintahkan menyerang orang Byzantium di Asia Kecil, karena mereka senantiasa mengganggu batas-batas Daulat Abbasiyah. Kadang-kadang Harun Arrasyid yang memimpin tentaranya ke daerah itu.

Pada tahun 181 H. Harun Arrasyid berangkat membawa angkatan perangnya menyerang Byzantium. Dalam beberapa pertempuran dia memperoleh kemenangan, sehingga ia sampai di Angora (Angkara). Sementara itu armada Islam yang di Laut Tengah dapat menduduki pulau Kreta (Kandia) dan Cyprus. Oleh karena itu Ratu Irene terpaksa mengikat perjanjian peletakan senjata dengan Harun Arrasyid dengan syarat dia harus membayar upeti tahunan kepada Daulat Abbasiyah. Akan tetapi sepeninggal Ratu, kaisar penggantinya melanggar syarat-syarat itu dan perangpun berulang kembali antara Daulat Abbasiyah  dengan Imperium Byzantium. Harun Arrasyid maju lagi mengerahkan laskarnya. Dia dapat menduduki kota Heraclius dan memaksa orang-orang Byzantium membayar Upeti. Akan tetapi mereka selalu mempergunakan waktu luang untuk menyerang negeri-negeri Islam. Oleh karena itu api peperangan antara keduanya tidak pernah padam.


Harun Arrasyid dan Karel de Grote
Berkat kebijaksanaan siasat Harun Arrasyid, ia dapat menjalin hubungan erat dengan Maharaja Perancis Karel de Grote (Charlemagne). Persahabatan itu melahirkan perjanjian, bahwa Karel akan menghadapi Bani Umayyah dan Rasyid dapat berkonsentrasi untuk menentang penjarahan orang Byzantium.

Khalifah Harun Arrasyid dan Maharaja Karel saling bertukar hadiah dan bingkisan. Diatara hadiah Rasyid kepada Karel ialah ‘jam air’ yang amat ajaib dan halus buatannya sehingga orang Eropa menyangka benda itu adalah benda sihir. Rasyid memberikan pula kepada Karel ‘anak kunci gereja raya’ di Baitul Maqdis. Kerena inilah orang Perancis di belakang hari mengklaim bahwa mereka berhak melindungi tempat-tempat suci di Palestina dan melindungi orang-orang Kristen yang pergi melaksanakan haji ke negeri itu, karena ia yang memegang kuncinya.

Keluarga Barmak
Keluarga Barmak adalah kaum bangsawan dari Persia. Seorang anggota keluarga itu, yaitu Khalid bin Barmak diambil menjadi ‘wazir’ oleh Assafah dan Al-Manshur. Khalifah Harun Arrasyid mengambil puteranya pula, yaitu Yahya bin Khalid menjadi wazirnya. Yahya dibantu oleh empat puteranya, yaitu Ja’far, Fadhal, Muhammad dan Musa. Harun Arrasyid mempercayai mereka sekalian dan menyerahkan segala urusan kerajaan kepada mereka.

Diantara putera Yahya yang berempat itu, Fadal sebagai putera sulung menjadi tangan kanan ayahandanya yang membantu dia dalam urusan yang besar dan pelik.
Fadhal disusui oleh ibunda Rasyid, sebagaimana Rasyid disusui oleh Ibu Fadhal. Maka kedua orang besar ini saudara sesusuan. Dan ketika putera Rasyid yang bernama Muhammad Amin lahir, Rasyid menyerahkan pendidikannya kepada Fadhal.

Pada tahun 176, Ja’far yang juga salah satu putera Yahya dipercayai mengamankan huru-hara di Siria pada tahun 186 H. Kemudian ia diangkat menjadi wali di Khurrasan dan sesudah itu dia diangkat menjadi Panglima Besar seluruh tentara. Pendek kata, Ja’far telah mendapat tempat yang luas sekali dalam diri Harun Arrasyid. Dia disayangi dan dihormati oleh Khalifah.


Keluarga Barmak lambang Ketinggian dan Kemuliaan
Tidak mengherankan kalau keluarga Barmak itu dicintai dan disegani rakyat. Para pujangga mengubah sloka yang indah halus memuji keluarga itu dan para biduan menyanyikan lagu yang merdu sedap menyatakan kemuliaan dan kedermawanan mereka, sehingga mereka telah menjadi ibarat dalam segala ketinggian dan kemuliaan.

Akan tetapi, sudah menjadi adat dunia, bahwa segala sesuatu tak ada yang kekal. Demikian yang terjadi atas diri keluarga yang mulia itu. Bawaan masa dan pengaruh keadaan telah menjatuhkan keluarga itu dari puncak kemujuran yang setinggi-tingginya kedalam jurang kemalangan yang sedalam-dalamnya.

Khalifah Harun Arrasyid telah merasa bahwa pengaruh dan kekuasaan keluarga Barmak telah sampai pada tingkat yang terlalu tinggi, dan sudah menyamai pengaruh dan kekuasaan Harun Arrasyid, bahkan terkesan melebihinya. Suatu ketika Harun Arrasyid meminta uang yang tidak seberapa jumlahnya kepada mereka, tapi tidak diindahkannya. Betapa tidak, semua pihak telah menghadap kepada mereka, sehingga tidak ada lagi yang tinggal pada Rasyid, kecuali dari namanya Khalifah. Kemegahan Fadhal dan Ja’far yang berlebihan menimbulkan iri hati pada sebagian orang, ditambah lagi dengan hasutan musuh-musuh keluarga Barmak kepada Rasyid dan tuduhan mereka bahwa keluarga itu telah berlaku sekehendak hatinya membelanjakan uang negara, yang menambah nyala api kemurkaan Rasyid.

Kemudian datang lagi peristiwa Yahya bin Abdullah al-Alawy. Setelah surat pengakuan aman atas diri cucu Ali itu dicabut kembali oleh Rasyid, dikurungnya Yahya di dalam istana Ja’far al-Barmaky. Akan tetapi karena sayang dan hormat Ja’far kepada kaum Alawiyyin, Yahya bin Abdullah dilepas. Tatkala hal ini diketahui oleh Harun Arrasyid maka murkalah ia kepada Ja’far. Dalam pada itu Rasyid mendapat berita bahwa keluarga Barmak telah membantu Abdul Malik bin Salih Al-Abbasi yang hendak merebut pangkat Khalifah dari Harun Arrasyid.

Jatuhnya keluarga Barmak
Segala peristiwa ini membulatkan hati Khalifah Harun Arrasyid untuk membinasakan keluarga itu. Ia memerintahkan pembunuhan atas Ja’far bin Yahya, kemudian ayahandanya beserta sekalian keluarganya serta sahabat-sahabatnya; demikian pula dengan Abdul Malik bin salih beserta keluarganya, mereka ditangkap dan dipenjarakan semuanya.

Wafatnya Harun Arrasyid
Pada tanggal 3 Jumada-tsaniah 193 H. (24 Maret 809 M.) Khalifah Harun Arrasyid wafat di markas tentaranya di Tarsus, dalam usia 47 tahun, setelah memerintah 23 tahun 2 bulah 18 hari. Sebelum wafatnya ia telah mengangkat tiga orang puteranya menjadi Amir dalam kerajaan. Kepada Muhammad Al-Amin diserahinya daulatnya bagian Barat. Kepada Abdulalh al-Makmun diserahinya memerintah Persia. Kepada Kasim diserahinya memerintah wilayah Armenia dan Aljazirah. Putera Al-Amin diangkat menjadi Putera Mahkota Pertama, sedangkan Abdullah Al-Makmun walaupun lebih tua dijadikan Putera Mahkota Kedua yang akan menjadi Khalifah setelah Al-Amin.


6- AL-AMIN DAN AL-MAKMUN
(193 – 218 H. = 809 – 833 M.)
Setelah wafatnya Harun Arrasyid, Muhammad Al-Amin dilantik sebagai penggantinya.
Al-Amin menyerahkan sekalian urusan daulatnya kepada wazirnya Fadhal bin Rabi’. Dia ini dikenal pandai memfitnah dan memperburuk orang lain. Dia dahulunya yang menghasut Harun Arrasyid untuk menggulingkan keluarga Barmak dan dia pula yang memutuskan hubungan antara adik dan kakak yaitu Al-Amin dan Al-Makmun.

Perbuatan yang mula-mula dilakukanya utnuk menimbulkan sengketa antara kedua bersaudara itu, ialah menyerahkan sekalian harta peniggalan di markas tentara Rasyid di Tarsus, kepada Al-Amin, menurut wasiat Rasyid harta itu harus diserahkan kepada Al-Makmun semuanya. Ia juga menghasut Al-Amin membatalkan baiat Al-Makmun menjadi putera mahkota kedua, dan mengangkat Ishak putera Al-Amin sebagai penggantinya. Inilah pangkal sengketa.

Lantaran hasutan Fadhal bin Rabi’ itu, Al-Amin berani melanggar perjanjian yang telah diikrarkannya pada masa hidup Harun Arrasyid. Perbuatan Al-Amin yang sedemikian itu, menimbulkan amarah orang Khurrasan dan penduduk kota-kota besar lainnya, sebab Al-Makmun mereka cintai lantaran kesalihan dan budinya.

Antara Al-Amin dan Al-Makmun
Karena hasutan itu terjadilah bencana besar dalam negeri. Api peperangan antara keduanya terjadi. Peperangan itu berakhir dengan kemenangan laskar Al-Makmun yang dipimpin oleh Panglima Thaber bin Husein. Al-Amin meninggal dalam pertempuran, dan Khilafah pindah ke Al-Makmun.
Kemenangan Al-Makmun atas Al-Amin pada hakekatnya adalah kemenangan kaum Persia atas Arab, atau kekalahan pengaruh Arab oleh perngaruh Persia. Fadhal bin Rabi’ wazir Al-Amin adalah orang Arab, sedangkan Fadhal bin Sahl wazir Al-Makmun adalah orang Persia. Karena wazir adalah kuasa Khalifah.

Di tubuh Khalifah Al-Makmun mengalir darah dan semangat Persia, karena ibunya memang berasal dari keturunan Persia. Maka tidak mengherankan kalau ia melebihkan bangsa itu dari bangsa Arab. Apalagi ia bisa merebut khilafat berkat pertolongan bangsa Persia. Oleh karena itu pengaruh bangsa Persia sangat besar pada masa pemerintahan Al-Makmun.


Menghadapi kaum Alawiyyin
Samangat dan perasaan ummat Persia sangat mendalam kesannya tas jiwa Al-Makmun. Ini adalah karena pengaruh wazirnya Fadhal bin Sahl. Oleh sebab itu, pada permulaan pemerintahannya ia mengasihi keluarga Alawiyyin, sehingga sampai ia mengambil warna biru, syi’ar kaum Alawiyyin menjadi simbol kedaulatannya, sebagai ganti warna hitam, simbol keluarga Abbasiyah. Ali Radhi Al-Alawy pemuka kaum Alawiyyin diangkat menjadi Putera Mahkota. Ia melakukannya untuk menarik hati bangsa Persia yang berkeyakinan bahwa hanya Alawiyyin yang berhak menduduki kursi Khilafah.

Pengangkatan itu dilakukan ketika ia di Khurrasan. Ketika penduduk Baghdad mengetahuinya, mereka marah dan membaiat Ibrahim bin Mahdi pamannya menjadi khalifah.
Mendengar kejadian itu Al-Makmun segera meninggalkan kota Marwa (Mevr), ibukota negeri Khurrasan dan segera berangkat ke Baghdad.

Setibanya di Baghdad warna hitam dipakainya kembali, yang merupakan syi’ar keluarga Abbasiyah. Dengan demikian ia dapat mengembalikan kepercayaan penduduk Irak umumnya dan kaum keluarganya pada khususnya. Maka Ibrahim Al-Mahdi melarikan diri meninggalkan Baghdad setelah menjadi Khalifah dua tahun lamanya. Akan tetapi Al-Makmun segera mema’afkan dan menyenangkan hatinya.

Daulat Thahiriyyah
Di zaman Al-Makmun pengaruh orang Khurrasan sangat besar, daerah itu diserahkan kepemerintahan sepenuhnya kepada Thahir bin Husein, panglimanya ketika menaklukkan Baghdad mengalahkan Al-Amin. Dengan demikian keluarga Thahir mendapat kemerdekaan berdiri sendiri (hak otonomi) memerintah Khurrasan (198 H. = 820 M.)

Perhatian Al-Makmun terhadap Ilmu Pengetahuan
Khalifah Al-Makmun adalah seorang Khalifah Islam yang arif bijaksana, lubuk akal lautan budi, mengutamakan kemerdekaan berfikir dan penelitian. Menurut pendapatnya, pertikaian dalam beberapa masalah agama menyebabkan ummat Islam terpecah belah, terbagi kepada beberapa golongan. Untuk menghindari bencana ini ia membentuk Majlis Munadharat, yang merupakan tempat membahas persoalan agama yang pelik, majlis ini bersidang dihadapan Al-Makmun sendiri dan dihadiri oleh para ulama kenamaan. Hasil pembahasan ini disiarkan kepada rakyat agar mereka melaksanakan sesuai hukum yang sama berdasar atas pendapat-pendapat yang disatukan, supaya tidak timbul perselisihan.

Usaha dan kegiatan Al-Makmun bukanlah semata-mata terbatas dalam lingkungan ilmu agama saja, bahkan sampai pada lingkungan ilmu umum dan kebudayaan. Ia berusaha keras supaya orang-orang ahli tarjamah di zaman itu bersungguh-sungguh menterjemahkan kitab-kitab asing ke dalam bahasa Arab, terutama bahasa Yunani dan Persia.

Maka banyaklah macam buku-buku pengetahuan yang dialin dan dikarang orang ketika itu, seperti kitab filsafat, kedokteran, ilmu falak, ilmu pasti, geometri, musik dan lain-lain. Ia juga mengutus rombongan ulama ke Konstantinopel untuk menterjemahkan buku-buku pengetahuan yang ada disana, ke dalam bahasa Arab.

Tidak salah kalau ahli sejarah mengatakan bahwa ummat Islamlah yang memperhubungkan ujung tali peradaban dan pengetahuan di zaman purba dengan ujung tali peradaban dan pengetahuan Barat di zaman ini.

Wafatnya Al-Makmun
Al-Makmun wafat pada 19 Rajab 218 H. (10 Agustus 833 M.) di Tarsus, ketika laskarnya sedang berperang dengan melawan tentara Byzantium. Ia wafat pada usia 48 tahun dan masa pemerintahannya 20 tahun 5 bulan 24 hari. Sebelum wafat ia telah berwasiat bahwa yang akan menggantikan dia ialah saudaranya Abu Ishak Muhammad al-Mu’tashim bin Rasyid.


7- AL-MU’TASHIM DAN AL-WATSIQ
(218 – 232 H. = 833 – 847 M.)
Suasana pemerintahan
Di zaman Khalifah Muhammad Al-Mu’tashim terjadi banyak perselisihan faham keagamaan. Perbedaan antara para ulama Islam sering terjadi dimana-mana. Namun hal ini seakan-akan disukai oleh Al-Mu’tashim.

Tentara asal Bangsa Turki
Dia selalu memperbanyak sahaya belian dari bangsa Turki sampai jumlah mereka 70.000 orang. Mereka dijadikan pasukan istimewa untuk mengawal istana. Mereka mendapat keistimewaan daripada bangsa Arab dan Persia. Hal ini menimbulkan kebencian hati panglima-panglima Islam lain kepadanya, lebih-lebih yang berbangsa Arab. Mereka sepakat menurunkan Al-Mu’tashim dari singgasana Khilafah dan menggantikannya dengan Amir Abbas bin Al-Makmun, yaitu putera saudaranya. Akan tetapi kesepakatan itu diketahui oleh Al-Mu’tashim dan seluruh panglima yang berkomplot termasuk Amir Abbas dibunuh.

Pergeseran Para Panglima
Kegagalan rencana beberapa panglima itu menyebagkan Al-Mu’tashim bertikdak keras atas panglima-panglima dari Arab dan Persia. Dengan berangsur-angsur Al-Mu’tashim mengurangi jumlah mereka dan menghapuskan namanya dari daftar tentara. Akhirnya Al-Mu’tashim hanya menyerahkan urusannya kepada panglima-panglima bangsa Turki.

Laskar Turki itu walaupun berasal dari budak sahaya dan orang tawanan, tapi mereka tahu kalau mereka bahwa mereka dikasihi dan dilebihkan oleh Al-Mu’tashim dari yang lain. Maka mereka sering berlaku sekehandak hati mereka. Untuk menghindari bencana yang lebih besar atas perbuatan serdadu dari Turki itu, Al-Mu’tashim mendirikan kota Samarra di sebelah Timur sungai Tigris. Ibu kota kerajaanpun dipindahkan ke kota baru itu.

Karena tenaga Al-Mu’tashim sebagian besar digunakan untuk menindas pemberontakan yang terjadi dimana-mana,  maka keamanan dan kedamaian beberapa daerah Daulat Abbasiyyah mulai goyah.
Karena Al-Mu’tashim sibuk dengan urusan dalam negeri tersebut maka Kaisar Byzantium memperoleh kesempatan menjarah negeri-negeri Islam di daerah Siria, bahkan melakukan pembunuhan dan pembakaran serta pengrusakan.

Kontak Senjata dengan Byzantium
Pada tahun 223 H. Al-Mu’tashim menyiapkan 200.000 laskar untuk membalas penyerangan orang Byzantium. Kekuatan balatentaranya dipusatkan di kota Tarsus. Setelah melakukan beberapa pertempuran yang hebat dan sengit, ia dapat merebut beberapa benteng orang Byzantium dan menaklukkan kota Amuria, suatu kota besar di Asia Kecil, yang terletak di daerah Galatia. Kota itu dirusak dan penduduknya banyak dibunuh, sedangkan laskarnya diberi kebebasan selama empat hari untuk merampas, membunuh dan membakar kota itu. Kaum bangsawan dan hartawan menebus jiwa mereka dengan kekayaan mereka. Dengan demikian Al-Mu’tashim dapat melepaskan daerah itu dari Kaisar Byzantium yang telah menyamun dan menjarah sesuka hatinya di daerah-daerah Islam.

Wafatnya Al-Mu’tashim dan penobatan Al-Watsiq
(227 H. = 842 M.)
Al-Mu’tashim wafat pada tanggal 18 Rabi’ul Awwal 227 H. (4 Pebruari 842 M.) sesudah ia menanamkan bibit kerusakan di bumi Daulat Abbasiyah, yaitu dengan memberikan kekuasaan kepada bangsa Turki yang akan menimbulkan pelbagai bencana di kemudian hari atas diri Daulat Bani Abbas.

Ia digantikan oleh puteranya Harun Al-Watsiq Billah. Khalifah ini meneladani ayahandanya yang memberikan keutamaan atas bangsa Turki. Pada zamannya kaum Khawarij di Hijaz dan bangsa Kurdi di Mosul menyatakan keluar dari kekuasaan Abbasiyah. Kekacauan juga banyak terjadi di tanah Arab, maka muncullah tuntutan di Baghdad agar Al-Watsiq turun tahta.

Walaupun ia tidak dapat mengamankan daerah Daulat Islam, namun ia dipuji lantaran kecintaannya dan kegiatannya memajukan ilmu pengetahuan. Di zamannya lahir beberapa orang ahli ilmu dan pujangga yang kenamaan. Diistananya sendiri diadaka suatu majlis istimewa untuk membahas dan mendiskusika beberapa persoalan agama dan negara.

Wafatnya Al-Watsiq  dan akhir masa keemasan Bani Abbas
Pada 24 Dzulhijjah 232 H. (11 Agustus 847 M.) Khalifah Harun Al-Watsiq Billah wafat pada usia 36 tahun, setelah memerintah selama 5 tahun 8 bulan 6 hari. Bersamaan dengan wafatnya berakhir pula zaman keemasan yang gemilang, zaman kebesaran, zaman kejayaan Daulat Bani Abbas dan mulai memasuki masa kelemahan dan keruntuhan Daulat itu, karena pengaruh budak-budak belian bangsa Turki. Walaupun masih terdapat 26 Khalifah lagi setelah itu namun kebesrannya sudah surut.

SEBAB-SEBAB RUNTUHNYA DAULAT ABBASIYYAH

1. Mengutamakan bangsa Asing dari bangsa Arab.
Keluarga Abbasiyah memberikan pangkat dan jabatan negeri yang penting-penting dan tinggi-tinggi, baik sipil maupun militer, kepada bangsa Persia. Mereka sebagian besar diangkat menjadi wazir, panglima tentara, wali (gubernur), hakim dan lain-lain. Oleh karena itu bangsa Arab membenci Khalifah-khalifah tersebut dan menjauhkan diri daripadanya.

2. Dendam atas keluarga Bani Umayyah dan permusuhan atas Alawyyin.
Dendam keluarga Abbasiyah menindas dan menganiaya keluarga Bani Umayyah serta perbuatan mereka memusuhi kaum Alawiyyin menambah amarah dalam hati mereka.
Keluarga Abbasiyah melakukan siasatnya yang demikian, mengakibatkan kerugian atas diri mereka sendiri. Mereka lupa bahwa berdirinya Daulat mereka juga atas bantuan dan pengorbanan besar kaum Alawiyyin dalam menjatuhkan kekuasaan Bani Umayyah.

Akibat dari permusuhan kedua keluarga besar itu, yaitu Abbasiyah dan Alawiyyin, timbulnya huru-hara dan pemberontakan hampir di seluruh pelosok negeri Islam.

3. Terpengaruh perselisihan paham agama.
Beberapa orang Khalifah Abbasiyah seperti Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq, sangat terpengaruh oleh bid’ah-bid’ah, perselisihan madzhab dan aliran filsafat. Hal ini menimbulkan benih perpecahan menjadi beberapa partai dan golongan. Hal ini yang menjauhkan kaum Ulama dari mereka.

4. Rapuhnya Sistim bernegara
Diantara Khalifah Bani Abbas masih ada yang memberlakukan sistim bernegara yang sangat buruk, seperti mengangkat dua Putera Mahkota, yang juga dilakukan oleh khalifah-khalifah Bani Umayyah. Hal ini yang menimbulkan banyak sengketa dan bencana yang tidak habis-habisnya dalam lingkungan kerajaan.

5. Bencana Bangsa Turki
Diantara mereka terlalu mempercayai bangsa Turki yang selalu bercita-cita hendak merebut kekuasaan Khalifah, sehingga Daulat Abbasiyah menjadi medan percaturan dan pengkhianatan serta fitnah. Hal ini yang semula dilakukan oleh Al-Mu’tashim Billah.

Sangat besar bahaya bangsa Turki itu adas Daulat Bani Abbasiyah. Beberapa oang Khalifah jatuh menjadi korban mereka. Tiang tua dan segala persendian Daulat Abbasiyah rusak binasa olehnya. Kekacauan timbul dimana-mana, sedang dari Khalifah sendiripun menjadi permainan tangang-tangan panglima-panglima Turki. Perselisihan antara tentara dan rakyat sering terjadi. Permusuhan yang terjadi antara panglima-panglima Turkipun juga menambah buruknya suasana Khlilafah.

Kelemahan pemerintah pusat di Baghdad itu menjadi peluang yang empuk bagi para pimpinan wilayah untuk memutuskan dari Khilafah di pusat, mereka mendirikan kerajaan sendiri-sendiri, sehingga pada masa itu bediri kerajaan-kerajaan kecil (imarat) dalam lingkup Daulat itu sendiri.




DAULAT-DAULAT LAIN YANG BERDIRI DI ZAMAN DAULAT ABBASIYAH
Pengaruh daulat-daulat kecil yang berdiri sendiri:
Semenjak masa kejayaan Daulat Bani Abbas maupun masa kemundurannya banyak berdiri Daulat-daulat yang memisahkan diri dari Daulat Bani Abbas.
Berdirinya beberapa daulat kecil itu, walaupun tampaknya menjadi alamat kelemahan Daulat Bani Abbas, tetapi pengaruhnya besar juga untuk kemajuan dunia Islam. Karena dengan demikian lahir juga beberapa kota besar yang menjadi pusat ilmu pengetahuan, yang menyaingi kota-kota Abbasiyah, seperti Kordoba (Cordova), al-Qahirah (Kairo), dan Bukhara. Kalau dahulunya kota Baghdad megah sendirinya sebagai pusat peradaban dan pengetahuan, maka kota-kota itupun juga menjadi kiblat para ulama dan pujangga.

A. Di Masa Jayanya
Ketika Daulat Bani Abbas masih kuat dan jaya beberapa daulat berdiri, yaitu:

1. Daulat Bani Umayyah di Andalus.
Didirikan oleh Amir Abdurrahman Ad-Dakhil bin Mu’awiyah bin Hisyam pada tahun 138 H. (575 M.), yaitu ketika Daulat Bani Abbasiyah masih muda, ia melarikan diri ke Andalus untuk menyelamatkan jiwanya dari ancaman Bani Abbas. Setibanya di Andalus ia dinobatkan menjadi Amir (raja).

2. Daulat Bani Idris di Maroko (172-311 H. = 788-923 M.).
Didirikan oleh Idris bin Abdullah, seorang keturunan Ali bin Abi Talib, di zaman Khalifah Harun Arrasyid.

3. Daulat Bani Aghlab di Tunis (184-296 H. = 800-908 M.).
Didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab sebagai hadiah dari Harun Arrasyid kepada keluarga Bani Aghlab.

4. Daulat Tahiriyah di Khurrasan (205-259 H. = 820-872 M.).
Didirikan di zaman Khalifah Al-Makmun oleh panglimanya yang perkasa Thahir bin Husein, sebagai hadiah dari Khalifah atas jasa

B. Di Masa Lemahnya
Ketika Daulat Abbasiyah memasuki masa kemundurannya, yaitu dimasa Khalifah-khalifahnya tidak berpengaruh lagi, diwaktu kekuasaan dipegang oleh Amir-amir bangsa Turki, makin banyak daerah-daerah yang hendak melepaskan diri dari Daulat Abbasiyah.

Di Mesir:
1. Daulat Bani Toulon pada tahun (254-292 H. = 868-905 M.).
2. Daulat Bani Ikhsyid pada tahun (323-358 H. = 935-969 M.).
3. Daulat Fathimiyyah pada tahun 358 H. = 969 M.

Di Persia dan Turkistan:
1. Daulat Bani Safar (254 – 290 H. = 868 – 903 M.).
Daulat ini didirikan oleh Ya’kub bin Laits As-Safary sebagai tandingan Daulat Bani Thahir di Khurrasan, di zaman Al-Mu’taz bin Al-Mutawakkil Khalifah Abbasiyah yang ketiga belas. Mulanya tidak ada minat bagi Ya’kub untuk melepaskan diri dari Daulat Abbasiyah. Baginya cukuplah kalau ia dijadikan Amir saja oleh Khalifah Khurrasan, agar ia dapat menaklukkan negeri-negeri yang dibawahi oleh Bani Thahir. Akan tetapi setelah ia dijadikan Amir saja oleh Khalifah di Khurrasan, agar ia dapat menaklukkan Persia, bahkan sampai hendak menaklukkan daerah-daerah Khalifah sendiri.

Maksud itu tercapanya di Persia, tapi khalifah tidak bisa ditundukkan, bahkan laskarnya sendiri dihancurkan oleh tentara Khalifah Al-Mu’tamid, Khalifah Abbasiyah yang kelima belas, dan ia sendiri terpaksa mundur sampai ke Persia. Daulat ini hanya berusia 36 tahun.

2. Daulat Bani Saman (261 – 389 H. = 874 – 999 M.).
Daulat ini didirikan oleh Isma’il bin Saman, berasal dari kalangan bangsawan yang dimuliakan di Persia. Ia mulai berpengaruh dalam Daulat Abbasiyah di zaman Khalifah Al-Makmun, sehingga ia diangkat menjadi wali Turkistan. Ketika Daulat Abbasiyah memasuki masa kemundurannya, pada masa Khalifah Al-Mu’tamid, Nasru bin Akhmad cucu Saman melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad lalu mendirikan kerajaan merdeka. Daulat Samaniyah ini dapat menaklukkan daerah-daerah yang semula dikuasai oleh Daulat Safariyah.

Jasa para Amir Bani Saman sangat besar dalam memajukan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, khususnya kebudayaan Persia. Di zaman mereka lahir beberapa ulama yang mengarang beberapa buku pengetahuan seperti ilmu kedokteran, ilmu falak dan filsafat. Ibnu Sina seorang filosuf Islam itu mengakui bahwa perpustakaan di Bukhara ibukota Bani Samaniyah, penuh dengan buku-buku pengetahuan yang tidak ternilai harganya. Ia menyaksikan sendiri ketika ia berziarah ke negeri tersebut.

3. Daulat Bani Buaihi (334 – 447 H. = 945 – 1055 M.).
Daulat ini didirikan oleh tiga orang putera Buaihi, yaitu Ali, Hasan dan Akhmad, ketiga-tiganya memimpin negeri Dailam. Mereka mulai muncul dalam politik pada abad keempat Hijrah. Mereka mengabdi pada seorang panglima Dailam yang mempunyai pengaruh besar di negeri-negeri pesisir laut Kaspia dan di tanah Persia. Ketiga-tiganya disayangi oleh penglima itu sehingga mereka memperoleh kekuasaan memerintah di tanah-tanah sebelah Selatan Persia dan sebelah Timur Irak.
Ketika timbul huru-hara di Bahdad, Khalifah Abbasiyah XXII Al-Mustakfi minta bantuan kepada tiga orang putera Buaihi itu. Permintaan Khalifah itu dikabulkan mereka dan mereka segera datang ke Baghdad, disambut oleh Khalifah dengan segala kehormatan, lalu diserahi memegang kendali pemerintahan. Kepada Ali diberi gelar ‘Imaduddaulah’, kepada Hasan ‘Ruknud Daulah’ dan kepada Akhmad ‘Mu’izzud Daulah’.  Nama gelar mereka masuk dalam cap mata uang. Maka dengan demikian kekuasaan mereka sangat besar di kota Baghdad. Ditangan mereka terletak segala perintah dan larangan, sedangkan Khalifah hanya tinggal nama saja. Hal ini dilakukan juga untu menjaga kehormatan dan martabat Khalifah dan kedudukan para pembesarnya agar mereka tidak jatuh, walaupun memang tidak berkuasa lagi.

Putera Buaihi yang semula memperoleh kekuasaan ialah ‘Mu’izaud Daulah’ Akhmad bin Buaihi, putera bungsu. Dimasanya timbul permusuhan antara tentara Dailam dan laskar Turki, dan perselisihan antara Ahlussunnah dan Syi’ah, sehingga kota Baghdad dan beberapa kota di tanah Persia telah menjadi medan huru-hara dan permusuhan.

Kelemahan Daulat Bani Abbas ini digunakan oleh orang-orang Byzantium untuk merebut kembali daerah-daerah mereka yang telah hilang di Asia Kecil (bagian Barat Mesopotamia) dan di Al-Jazirah, bahkan mereka sampai menyeberangi sungai Euphrat dan mengancam kota Baghdad.
Lebih satu abad lamanya keluarga Buaihi memegang kekuasaan di Irak Al-jazirah, Persia dan pesisir laut Kaspia.
4. Daulat Ghaznawiyah (351 – 582 H. = 962 – 1186 M.).
5. Daulat Hamdaniyah (317 – 394 H. = 929 – 1003 M.).
6. Daulat Bani Saljuk (447 – 965 H. = 1055 – 1258 M.).



Masa Keruntuhan khilafah abbasiyyah


Telah tercatat dalam sejarah bahwa Islam telah berjaya dan mengalami kemajuan dalam segala bidang selama beratus-ratus tahun, namun disisi lain umat islam juga pernah mengalami kemunduran dan keterbelakangan.

Dinasti Bani Abbasiyah, sebagai dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam setelah dinasti Bani Umayyah, dalam sejarah perjalanannya mengalami fase-fase yang sama dengan dinasti Umayyah, yakni fase kelahiran, perkembangan, kejayaan, kemudian memasuki masa-masa sulit dan akhirnya mundur dan jatuh.

Kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah yang menjadi awal kemunduran dunia Islam terjadi dengan proses kausalitas sebagaimana yang dialami oleh dinasti sebelumnya. Konflik internal, ketidak mampuan khalifah dalam mengkonsolidasi wilayah kekuasaannya, budaya hedonis yang melanda keluarga istana dan sebagainay, disamping itu juga terdapat ancaman dari luar seperti serbuan tentara salib ke wilayah-wilayah Islam dan serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Dalam makalah ini penulis akan membahas sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah serta dinamikanya.

Tak ada gading yang tak retak. Mungkin pepatah inilah yang sangat pas untuk dijadikan cermin atas kejayaan yang digapai bani Abbasiah. Meskipun Daulah Abbasiyah begitu bercahaya dalam mendulang kesuksesan dalam hampir segala bidang, namun akhirnya iapun mulai menurun dan akhirnya runtuh. Menurut beberapa literatur, ada beberapa sebab keruntuhan daulah Abbasyiah, yaitu:


A. Faktor Internal

Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, sehingga benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.

Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:[1]

1. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.

Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam) di dunia Islam.

Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami.[2]

Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini 
kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590H).[3] 

2. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[4] 

Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[5] Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.[6] Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:

Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir. 

3. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.

Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.

Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
4. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.

Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[10] Setelah al Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut.[11] Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.

Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.


B. Faktor Eksternal


Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.

1. Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.

Perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau periode telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre. 
2. Serangan Mongolia ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H). 

Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil.Pada bulan September 1257, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258, Hulagu khan menghancurkan tembok ibukota. Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dieksekusi. Dan Hulagu beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang. Dan Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim telah menandai babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.


KESIMPULAN


Dari uraian masalah di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 
1. Kemunduran dinasti Abbasiyah, secara umum disebabkan oleh dua faktor; Internal dan Eksternal.
- Secara internal dapat dirinci sebagai berikut:
Tampilnya penguasa lemah yang sulit mengendalikan wilayah yang sangat luas ditambah sistem komunikasi yang masih sangat lemah dan belum maju menyebabkan lepasnya daerah satu per satu.
Kecenderungan para penguasa untuk hidup mewah, mencolok dan berfoya-foya kemudian diikuti oleh para hartawan dan anak-anak pejabat ikut menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.
Dualisme pemerintahan, secara de jure dipegang oleh Abbasiyah, tetapi secara de facto digerakkan oleh oleh tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh al-mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan. 
Praktek korupsi oleh penguasa diiringi munculnya nepotisme yang tidak profesional di berbagai propinsi. 
Perang saudara antara al-Amin dan al-Ma’mun secara jelas membagi Abbasiyah dalam dua kubu, yaitu kubu Arab dan Persia, Pertentangan antara Arab-non Arab, perselisihan antara muslim dengan non-muslim, dan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri.
- Secara ekternal disebabkan oleh karena Abbasiyah menghadapi perlawanan yang sangat gencar dari dunia luar. Pertama, mereka mendapat serangan secara tidak langsung dari pasukan Salib di Barat. Kedua, serangan secara langsung dari orang Mongol yang berasal dari Timur ke wilayah kekuasaan Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, K., Sejarah Islam Tarikh Pra Modern, Cet. IV; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003.

al-Isy, Yusuuf, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2007. 

al-Usyairy, Ahmad, Attarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Akbar, 2003. 

Amstrong, Karen, Islam A Short History, New York: Moder Library, 2000, diterjemahkan oleh. Ira puspito Rini, Sepintas Sejarah Islam, Yokyakarta: Ikon Teralitera, 2002.

Hasan, Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989. 

Hitti, Philip K., History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2008. 

Yatim, Badari , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000. 


Karim, M. Abdul., Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.

[1] Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000), h.80

[2] Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 102-104

[3] Badari yatim , op.cit., h. 50

[4] Ibid., h.63

[5] Ibid., 

[6] Yusuuf al-Isy, op. cit., h. 137

[7] Badari yatim ,op. cit., h. 65-66. lihat juga Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, hlm. 261- 297

[8] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2008), h. 436 dan 618

[9] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jil. 1, Kairo, Lajnah al-Ta’lif wa al-Nasyr. yang dikutip Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. h. 82

[10] Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar, 2003), h. 224

[11] Badari yatim, op.cit., h. 83

[12] Ibid. h. 84

[13] Ibid. h. 76-79. K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pra Modern, (Cet. IV; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003), h. 411. Karen Amstrong, Islam A Short History, (New York: Moder Library, 2000), terj. Ira puspito Rini, Sepintas Sejarah Islam, (Yokyakarta: Ikon Teralitera, 2002), h.114

[14] Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar, 2003). h. 258

[15] Philip K. Hitti, op. cit., h. 619

[16] Ahmad al-Usyairy, op. cit., h. 259
Terima kasih telah membaca artikel tentang Sejarah islam pada masa khilafah abbasiyyah Informasi Islami di blog Islamic Information jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :

Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com