Masa Kejayaan Islam Pada Masa Ke Khalifahan Bani Abbasiyyah dari awal hingga Akhir - Informasi Islami
Di Persia dan Turkistan:
2. Daulat Bani Saman (261 – 389 H. = 874 – 999 M.).
Keluarga Abbasiyah
Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdi Manaf meninggalkan
beberapa orang putera. Diantaranya Abdullah (ayahanda Nabi Muhammad), Abbas dan
Abu Talib. Akan tetapi yang mempunyak keturunan banyak hanyalah Abbas dan Abu
Thalib. Mereka berdua menurunkan keluarga besar yang tersebar seantero Daulat
Islam, dari ujung Barat Afrika-Utara sampai ke negeri-negeri Asia-Tengah.
Abbas dilahirkan tiga
tahun sebelum tanuh gajah. Berarti lebih tua tiga tahun dari Rasulullah. Ibunya
bernama Nutailah binti Janab. Abbas seorang pemuka Bani Hasyim dan seorang
cendikia suku Quraisy. Ia sahabat karib Abu Sufyan bin Harb. Dikala agama Islam
mulai disiarkan Nabi, dia menjadi penolong Nabi yang mukhlis. Ia dimuliakan dan
dicintai Rasulullah s.a.w. dan Khalifah-khalifah setelahnya. Ia wafat pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan.
Abdullah bin Abbas adalah putera kedua dari Abbas. Ia lahir dua tahun sebelum Hijrah. Ketika
Nabi wafat umurnya baru tiga belas tahun. Ia kekasih dan kesayangan Nabi. Di
zaman Umar bin Khattab ia menjadi anggota dewan penasehat Khalifah yang
istimewa. Sekalipun ketika itu usianya masih amat muda, tapi kerap kali Umar
menanyakan hukum-hukum dan berbagai masalah kepadanya. Dari keturunan Abdullah
inilah lahir keluarga Abbasiyah, dan saudara-saudaranya yang lain tidak
mempunyai keturunan.
Ali bin Abdullah adalah
salah satu putera Abdullah. Ia lahir dimalam terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi
Talib. Untuk memperingati kematian itu maka Abdullah memberi nama puteranya
dengan Khalifah itu.
Muhammad bin Ali adalah
sulung dari 20 putera laki-laki Muhammad dan 11 putera wanitanya. Dia inilah
ayahanda Ibrahim al-Imam, Abul Abbas Assafah dan Abu Ja’far al-Manshur. Dan
tiga putera Muhammad inilah yang menjadi tulang-punggung Daulat Abbasiyah.
Zaman Keemasan Daulat Abbasiyah
Lima Abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki
singgasana Khalifah Islam, mulai dari tahun 132 H. (749 M.) yaitu tahun
dikukuhkannya Abul Abbas Assafah, sampai jatuhnya Baghdad oleh serbuan orang
Mongol-Tartar dibawah kepemimpinan Hulako pada tahun 656 M. (1258 M.).
Adapun masa Daulat Abbasiyah dari permulaannya sampai
ke zaman Khalifah al-Watsiq Billah tahun 232 H. (879 M.) adalah masa kejayaan
Daulat Bani Abbas, maka ketinggian dan kebesaran, maka itu adalah zaman
keemasan Islam yang sangat gemilang.
1- ABUL ABBAS ASSAFAH
(132 – 136 H. = 749 – 754 M.)
Pada tanggal 13 Rabi’ul Awwal 132 H. (30 Oktober 749
M.), Abul Abbas Assafah dibai’at menjadi Khalifah yang pertama dari keluarga
Abbasiyah di kota Kufah. Ketika itu Marwan bin Muhammad masih hidup. Baru pada
tanggal 5 Agustus 750. (27 Dzulhijjah 132 H.( Khalifah Umayyah yang terakhir
itu menemui ajalnya dalam pertempuran dengan tentara Abbasiyah di Alfayaum
(Mesir). Tidak lama kemudian Abul Abbas Assafah pindah ke Hirah, kemudian ke
Anbar dan kota ini kemudian dijadikan sebagai ibukota Khilafahnya, dengan nama
Hasyimiyyatul Anbar, yang sekaligus menjadi peringatan bagi Kakek Bani Abbas,
yaitu Hasyim.
Semula keluarga Abbasiyah ini akan mengambil Damaskus
menjadi ibukota Khilafahnya, namun karena disana masih banyak pengikut keluarga
Bani Umayyah, apalagi jauh dari Persia, pusat kekuasaan mereka, dan dengan dari
batas Imperium Romawi Timur yang mungkin membahayakan daulatnya yang masih
sangat muda itu, maka ia menjadikan kota baru itu sebagai ibukotanya.
Siasat Abul Abbas Assafah
Selama masa pemerintahannya, Assafah berusaha mengkokohkan
sendi-sendi khilafahnya. Siasatnya itu dapat diketahui dari pidatonya yang
pertama di Kufah, saat ia dibai’at. Dalam pidatonya itu ia menyatakan keutamaan
keluarga Muhammad dan kejelekan Bani Umayyah, karena perbuatan mereka merampas
pangkat Khalifah. Dia mencela tentara Syam, memuji penduduk Kufah karena
kejujuran mereka membantu keluarga Bani Abbas menegakkan Daulatnya. Pidato itu
diakhiri dengan ucapan: “Sayalah Assafah yang tidak gentar menumpahkan darah
apabila perlu” Maksudnya berkata demikian ialah akan menegaskan kepada
musuh-mushnya, khususnya keluarga Bani Umayyah, bahwa barangsiapa yang berani
menentang dia dan menghalangi Daulatnya, akan berhadapan dengan ujung pedang
Assafah”. Maka dari itu lekat sekali gelar yang disandangnya yaitu ‘Assafah’
sang penumpah darah.
Assafah Penumpah Darah
Abul Abbas Assafah mempergunakan sebagian masa
pemerintahannya untuk memerangi panglima-panglima Arab yang setia kepada Bani
Umayyah, bahkan seluruh keluarga Bani Umayyah dimusnahkan, kemanapun anggota
keluarga Bani Umayyah besar maupun kecil dikejar dan dibunuh. Mereka tidak puas
dengan menghina keturunan keluarga itu yang masih hidup dan merampas harta
bendanya.
Abdullah bin Ali paman Assafah dan Gubernurnya di Syam
mengadakan penyembelihan umum menghabiskan para Amir Bani Umayyah, sebagian
besar mereka itu dipanggil untuk menghadiri suatu jamuan dan ditempat itu
mereka dibunuh.
Ia juga menumpahkan darah orang-orang yang menjadi
penolong berdirinya Daulat Abbasiyah. Ia membunuh Abu Salmah Al-Khilaly seorang
yang menjadi tangan kanannya dalam mendirikan daulatnya. Abu Salmah ini adalah
penolong yang sangat besar jasanya, sehingga ia diberi gelar oleh keluarga Bani
Abbas dengan ‘Wazir keluarga Muhammad’. Abu Salmah dibunuh karena dicurigai
akan memindahkan khilafat kepada keluarga Alawiyyin (keturunan Ali bin Abi
Talib). Ia juga bermaksud membunuh Abu Muslim Al-Khurrasani, karena ia takut
kalau-lakau panglima ini akan membahayakan daulatnya, karena pengaruhnya
semakin lama semakin besar. Akan tetapi keinginan itu tidak kesampaian karena
ia dijemput oleh ajalnya. Kemudian pembunuhan atas Abu Muslim Alkhurrasani
dilakukan oleh Khalifah berikutnya.
Abul Abbas Assafah wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah
tahun 136 M. (9 Juni 754 M.) sesudah ia memerintah selam 4 tahun 9 bulan.
2- ABU JA’FAR AL-MANSHUR
(136 – 158 H. = 754 – 775 M.)
Awal Kejayaan Daulat Bani Abbas
Abu Ja’far Al-Manshur menjadi Khalifah sejak
saudaranya Assafah wafat. Ia juga dipandang sebagai pendidi yang hakiki bagi
Daulat al-Abbasiyah, karena dialah yang membuat dan merealisasikan tata negara
Daulatnya.
Pada masanya kejayaan dan pekembangan ilmu pengetahuan
berkembang pesar, maka dari itu pada masa berikutnya Daulat Bani Abbas mencapai
masa kejayaannya. Pada masa itu juga berkembang pengaruh Persia, sehingga
Khalifah-khalifah Bani Abbas mentransfer beberapa kebudayaan Persia, seperti
adat-istiadat istana dan peraturan negara yang digunakan para Kisra Persia.
Dalam Istanapun orang Perialah yang berpengaruh, Orang Arab makin lama semakin
tersingkir.
Pada awal pemerintahannya Khalifah Al-Manshur
menghadapi berbagai macam kesulitan yang dapat diatasinya dengan ketabahan dan
keteguhan hatinya. Sifat-sifat inilah yang melangsungkan kemenangan Khalifah
dalam segala usahanya. Diantara kesulitan yang dihadapi Al-Manshur adalah
pendurhakaan pamannya sendiri yaitu Abdullah bin Ali, keingkaran Abu Muslim
al-Khurrasani dan pemberontakan kelompok Alawiyyin.
Pendurhakaan Abdullah bin Ali
Abdullah menyatakan bahwa Assafah telah menjanjikan
bahwa sepeniggalnya kelak ialah yang akan menggantikannya, jika ia dapat
memusnahkan seluruh kekuatan Marwan bin Muhammad dan para pengikutnya.
Pengakuan ini diakui oleh sebagian orang, lalu mereka membaiatnya. Oleh karena
itu Abdullah tidak mau membai’at al-Manshur. Untuk menaklukkan pemberontakan
ini Al-Manshur memerintahkan panglima Abu Muslim Al-Khurrasani ke Syam.
Diantara tentara Abdullah bin Ali di Syam terdapat
17.000 orang tentara Abu Muslim Al-Khurrasani. Oleh karena itu ia takut kalau
mereka nanti menggabungkan diri dengan barisan Abu Muslim, maka ia membinasakan
mereka dengan tipu muslihatnya. Dengan demikian Abdullah telah melemahkan
kekuatannya sendiri dengan tangannya sendiri. Dengan demikian tidak terlalu
sulit bagi Abu Muslim untuk dapat menindas perlawanannya. Dia tertangkap lalu
dipenjarakannya sampai ia meninggal dalam tahanan.
Keingkaran Abu Muslim Al-Khurrasani
Khalifah al-Mansyur sangat benci danmarah kepada Abu
Muslim ketika dia telah membanggakan dirinya, tidak mentaati perintah Khalifah
lagi dan terlalu banyak menumpahkan darah dengan tidak ada sebag yang nyata.
Khususnya lagi ia telah menyatakan keingkarannya kepada Khalifah Al-Manshur.
Atau boleh juga dikatakan kebesaran pribadi Abu Muslim, dirasa membahayakan
kedudukan Al-Manshur. Al-Manshur selalu mencari peluang yang baik untuk
membinasakannya. Akhirnya pada saatnya ia memanggil Abu Muslim dan dengan tipu
muslihanya ia dapat membunuhnya. Setelah Abu Muslim wafat, Al-Manshur merasa
tidak ada lagi kekuagan yang mengancam kedaulatannya.
Pemberontakan Alawiyyin
Keluarga Abbasiyah beruntung dapat merebut kursi
Khilafah. Mereka menegakkan daulatnya atas pusara reruntuhan Daulat Bani
Umayyah. Hal ini tidak menyenangkan hati kaum Alawiyyin, karena mereka yakin
bahwa mereka lebih berhak menduduki singgasana Khilafah daripada yang lainnya.
Oleh sebab itu mereka menyatakan permusuhan atas keluarga Bani Abbas. Apalagi ketika
hendak menghancurkan kekuatan Bani Umayyah mereka lebih mengutamakan nama Bani
Hasyim daripada Bani Abbas, tetapi setelah berhasil mereka ditinggalkan.
Pada tahun 145 H. muncullah di Hijaz Muhammad bin
Abdillah al-Alawy. Disana ia dikukuhkan menjadi Khalifah. Dia mengirimkan
saudaranya Ibrahim ke Basrah untuk menyiarkan Dakwanya supaya penduduk kota itu
turut membai’at dia.
Muammad bin Abdullah dituntukkan dan dibunuh oleh
Al-Manshur pada tahun 145 H. Sepeninggal Muhamad bin Abdullah, Ibrahim bangun
dan mengangkat dirinya menjadi Khalifah di Irak dan Persia. Akan tetapi
nasibnya sama dengan saaudaranya Muhammad. Ia mati dibunuh pada tahun 146 H.
Siasat Luar Negeri Al-Manshur
1. Terhadap Imperium Byzantium
Orang-orang Byzantium senantiasa mengintai
kelemahan-kelemahan Bani Umayyah. Untuk melanarkan serangan mereka ke
negeri-negeri Islam yang berbatasan dengan negeri mereka. Byzantium mengerahkan
tentaranya menyerang Syam di zaman Khalifah Al-Manshur pada tahun 138 H.
Penyerangan ini dapat ditangkis oleh laskar Abbasiyah. Peperangan itu diakhiri
dengan perjanjian genjatan senjata selama 7 tahun.
Setelah Khalifah Al-Manshur memadamkan pemberontakan
kaum Alawiyyin, penyerangan ke Byzantium dimulai. Maka terpaksa Kaisar
Byzantium minta berdamai dan berjanji akan membayar upeti tahunan kepada
Khalifah Abbasiyah.
2. Terhadap negeri Andalus
Negeri Andalus telah melepaskan diri dari Daulat
Abbasiyah, sesudah berdiri disana Daulat Bani Umayyah tahun 138 H. (757 M.)
dengan usaha Amir Abdurrahman Ad-Dakhil bin Mu’awiyah bin Hisyam. Amir ini
melarikan diri katika dilakukan sapu bersih atas keluarga Bani Umayyah.
Al-Manshur tak dapat menaklukkan negeri itu karena jauhnya jarak dari Khilafah
Bani Abbas. Apalagi ketika itu ia sedang menindas huru-hara dan pemberontakan
dalam negeri. Maka Al-Manshur bersahabat dengan Pepyn raja Frank serta
bertukaran duta dan bingkisan. Dan raja itu dihasutnya supaya memerangi
Abdurrahman.
3. Terhadap Afrika
Bangsa Barbar di Afrika Utara tidak senang dipimpin
oleh Orang Arab yang berlaku aniaya atas mereka. Mereka diperlakukan oleh
wali-walinya bukan sebagai sasama saudara, melainkan seperti penjajah dengan
terjajah, walaupun mereka telah masuk Islam. Ketika Daulat Bani Umayyah melemah
mereka berontak dan mendirikan beberapa wilayah merdeka. Akan tetapi tidak lama
para Amir Barbar berselisih antar mereka. Peluang ini digunakan oleh Al-Manshur
untuk menaklukkan daerah itu kembali, pada tahun 144 H. Kota Kairawan silih
berganti dikuasai oleh laskar Arab kemudian Barbar dan sebaliknya, mulai 155 H.
kota itu sempurna dikuasai oleh laskar Abbasiyah.
Pembangunan yang dilakukan oleh Al-Manshur
Mendirikan kota Baghdad dan kota-kota lain
Khalifah Al-Manshur mendirikan kota Hasyimiyatul Kufah
untuk ibukota negaranya. Kemudian dibangun pula kota Baghdad ditempat yang
sangat strategis, tidak terlalu jauh dari laut, dan terletak diantara sungai
Tigris dan Euptrat. Juga dibangun kota Ar-Rushafah dipinggir Timur sungai
Tigris. Kota Baghdad dijadikannya sebagai markas besar tentaranya.
Zaman mengarang dan terjemah
Al-Manshur menggiatkan para pujangga untuk mengarang
dan menterjemahkan buku-buku dari bahasa Persia, Yunani dan Hidu ke dalam
bahasa Arab. Ia sendiri gempar akan ilmu kedokteran, falak dan riyadhiyat. Maka
kota Baghdad menjadi hidup dan menjadi pusat ilmu pengetahuan dan peradaban. Di
zamannya lahirlah beberapa orang pujangga, pengarang, penterjemah, diantara
Ibnu Muqaffa’ penerjemah buku Kalilah dan Daminah.
Hemat cermat dalam segala pekerjaan
Khalifah Al-Manshur sangat hemat dan cermat dalam
menjaga peraturan. Dia terkenal rajin dan berhati hati dalam pengaturan
istananya. Senantiasa ingat dan waspada dalam segala pekerjaannya. Hal ini
terbukti dengan perkataannya: “Pintu istanaku hendaklah senantiasa dilalui oleh
empat orang, mereka itu adalah tiang khilafah. Manakala mereka kurang seorang
saja, maka khilafah tidak akan tegak, laksana kursi yang tidak tegak kecuali
dengan empat kaki. Mereka itu ialah: 1- Hakim yang adil, 2. Kepala intelejen
yang mengawasi sepak terjang para pejabat, 3. Kepala perpajakan yang adil lagi
tidak aniaya, 4. Jawatan Pos yang senantiasa membawa berita yang benar kepadaku
tentang perbuatan-perbuatan pembesar-pembesar Khilafah.
Al-Manshur mempergunakan kepada-kepala jawatan Pos
dengan sebaik-baiknya. Mereka yang menjadi mata kepalanya mengawasi segala
perihal khilafah. Dengan demikian Al-Manshur dapat mengetahui segala perbuatan
para Gubernurnya sebagaimana hukum yang diputuskan oleh para Hakimnya, berapa
uang yang masuk ke dalam Baitul Mal dan lain-sebagainya.
Kepala-kepala jawatan pos selalu melaporkan harga
pasaran dari segala macam barang, makanan dan barang yang lain. Oleh karena itu
hubungan dengan para Gubernur sangat dekat. Kalau harga barang-barang naik jauh
melebihi harga biasa, diperintahkannya agar harga itu diturunkan seperti
sediakala. Bia dilihat seorang pegawainya berlaku lalai atau kurang hati-hati,
dicelanya dan dipecat dari jabatannya.
Khalifah Al-Manshur terkenal hemat mengeluarkan
perbelanjaan dan pemberian, sehingga dikala ia wafat perbendaharaan negara
melimpah dan dapat dibelanjakan untuk sepuluh tahun kemudian lamanya. Walaupun
demikian ia memiliki kekurangan, diantaranya adalah penumpahan darah dan kecurangan
atas beberapa orang yang dijamin keamanan jiwanya.
Al-Manshur wafat pada tanggal 7 Dzulhijjah 158 H. (8
Oktober 775 M.). Ia digantikan oleh puteranya Al-Mahdi.
3- AL-MAHDI
(158 – 169 H. = 775 – 785 M.)
Masa Pembaharuan dan Peralihan
Khalifah Al-Mahdi memerintah selama 10 tahun. Masa
pemerintahannya dipandang sebagai masa peralihan antara zaman kekerasan yang
menjadi ciri Khalifah-khalifah Bani Abbas yang terdahulu kepada zaman sederhana
dan lemah lembut yang menjadi perhiasan masanya dan Khalifah-khalifah kemudian.
Al-Mahdi memulai masa pemerintahannya dengan
bermacam-macam perbaikan dan pembangunan, berkat harta peninggalan yang amat
banyak semenjak zaman Abu Ja’far Al-Manshur.
Diantara usahanya ialah memdirikan bangunan-bangunan
tempat air disepanjang jalan ke Mekkah untuk minuman kafilah yang berlalu, dan
memperluas Masjidil Haram. Dia membeikan perbelanjaan tetap kepada orang lemah
yang tak mampu lagi bekerja agar tidak mengemis.
Diantara Makkah, Madinah dan Yaman dibangun jawatan pos
berunta dan berkuda, peraturannya disempurnakan. Al-Mahdi juga dikenal pemurah
dan dermawan, sehingga sifatnya yang utama ini hampir mendekati sifat boros.
Sikapnya terhadap orang Zindik (Atheis)
Al-Mahdi tidak selalu belemah lembut, ia juga kerap
kali berlaku keras dan kasar atas orang-orang yang durhaka, khususnya kepada
orang Zindik (Atheis), yang lahir di masa pemerintahannya. Kaum ini
menghalalkan yang haram dan merusak tatanan kesopanan dan budi pekerti.
Al-Mahdi berusaha menindas golongan ini, sehingga untuk itu dia mendirikan
suatu jawatan istimewa dikepalai oleh seorang yang pangkatnya bernama ‘Shahibuz
Zanadiqah’. Tugasnya ialah membasmi dan mengikis kaum dan ajarannya. Pengikisan
terhadan kaum ini dilanjutkan oleh Khalifah berikutnya Musa Al-Hadi.
Siasat Luar Negeri
Di zaman Al-Mahdi mulailah kerajaan-kerajaan lain
menyegani dan menakuti daulat Islam karena kebesaran, keagungan dan
kekuasaannya.
Perselisihan yang tidak habis-habisnya antara Bani
Abbas dan keluarga Bani Umayyah di Andalus, membentangkan jalan bagi Maharaja
Karel De Grote untuk bersahabat dengan Khalifah-khalifah Abbasiyah. Hal ini
menguntungkan Khalifah Abbasiyah dalam usahanya menghadapi Daulat Byzantium.
Peperangan antara Daulat Abbasiyah dan Imperium Romawi
Timur tiada henti-hentinya di zaman khalifah Al-Mahdi. Laskar Islam menjarah ke
dalam daerah Romawi sehingga mereka sampai ke anggora (Angkara) di Asia Kecil.
Untuk membalas peristiwa ini, Kaisar Byzantium mengerahkan laskarnya menyerang
negeri-negeri Islam di perbatasan Siria, sampai laskar Islam bisa dipukul
mundur. Kemudian tiba giliran Al-Mahdi membalas serangan itu.
Pada tahun 163 H. dibentuklah sebuah laskar besar
dibawah pimpinan puteranya sendiri Harun Arrasyid, dibantu oleh panglima Khalid
Al-Barmaky. Tentara ini dapat menumbangkan segala yang menghalanginya, sehingga
ia dapat menaklukkan benteng Smala, sebuah benteng yang terkuat milik orang
Byzantium. Pada tahun 165 H. Al-Mahdi mengadakan penyerangan sekali lagi,
dengan angkatan perang yang juga dipimpin Harun Arrasyid. Kali ini Harun maju
sampai ke tepi selat Bosporus, sehingga ia dapat memaksa Ratu Irene (pemangku
jabatan Kaisar mewakili puteranya Constantyn VI yang masih kecil th.780 – 797
M.) membayar upeti tiap tahun kepada Daulat Islam, banyaknya 90.000 dinar. Peperangan
inipun berakhir dengan perjanjian peletakan senjata antara kedua belah pihak
dalam masa tiga tahun lamanya.
Di zaman Al-Mahdi ummat Islam juga memperluas
dakwahnya di negeri-negeri sebelah Timur. Mereka memasuki tanah Hindustan.
Mereka menghadapi beberapa pertempuran yang hebat. Mereka membakar kuil-kuil
dan patung-patung Budha. Kan tetapi penjarahan ini akhirnya menimbulkan bencana
besar atas angkatan perang Abbasiyah. Mereka banyak yang mati berkubur di dasar
laut, karena kapal-kapal mereka habis musnah dihancurkan badai di teluk Persia.
Wafatnya Al-Mahdi
Pada 22 Muharram 169 H. (4 Agustus 785 M.) Khalifah
Muhammad Al-Mahdi wafat. Ia berwasiat menurunkan pangkat Khalifah kepada dua
orang putranya, yang pertama kepada Musa Al-Hadi dan kedua kepada Harun
Arrasyid. Menurut wasiat Al-Mahdi itu pangkat Khalifah jatuh ke tangan Al-Hadi
dan kemudian baru kepada Harun Arrasyid.
4- MUSA AL-HADI
(169 – 170 H. = 785 – 786 M.)
Sebelum Al-Hadi dinobatkan sebagai Khalifah, ia banyak
mempergunakan waktunya di negeri Masyrik. Di kala ia dinobatkan ia sedang
berada disana menghadapi peperangan. Peristiwa yang telah banyak dialaminya di
Masyrik itu, berpengaruh besar atas perjalanan siasat, akhlak serta budinya.
Menghadapi Golongan Alawiyyin
Keluarga keturunan Ali bin Abi Thalib kaum Alawy,
dimana-mana selalu berusaha hendak mencapai pangkat Khalifah, sebab menurut
keyakinan mereka, pangkat itu adalah hak khusus bagi mereka. Di zaman Khalifah
Musa Al-Hadi mereka mengadakan pemberontakan di Hijaz, mereka dikepalai oleh
Husein bin Ali cucu dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Di Madinah Husein
mendapat kemenangan. Istana Wali di kota itu diduduki, penjara dibubarkan,
penghuni tahanan dilepaskan. Maka ia dinobatkan sebagai Khalifah oleh penduduk
Madinah.
Husein berangkat ke Makkah dengan membawa laskarnya,
disana ia bertemu dengan laskar Abbasiyah yang dikirim Khalifah Musa Al-Hadi
dibawah pimpinan panglima Muhammad bin Sulaiman. Pada suatu tempat bernama
Wadi-Fuch, terletak antara Makkah dan Madinah, maka terjadilah peperangan hebat
antara kedua laskar itu, Husein bin Ali beserta beberapa kerabat serta
laskarnya mati terbunuh.
Peperangan di Wadi-Fuch itu tidak kalah hebat dengan
peperangan Karbala. Pengaruhnya sangat besar pada perjalanan sejarah Daulat
Bani Abbas. Dua diantara keturunan Ali bin Abi Talib, yang akan menjadi saingan
besar bagi keluarga Abbasiyah dikemudian hari, dapat melarikan diri dari
peperangan itu, mereka itu ialah Yahya bin Abdullah yang dilantik menjadi Amir
di negeri Dailamy, sedangkan saudaranya Idris bin Abdullah mendirikan Daulat
Bani Idris di Maghribil Aqsa (Maroko).
Wafatnya Al-Hadi
Pada tanggal 14 Rabi’ul Awwal 170 H. (13 September 786
M.) Khalifah Al-Hadi wafat pada umur 26 tahun sesudah memerintah setahun tiga
bulan. Dia digantikan oleh saudaranya Harun Arrasyid.
Semula Al-Hadi bermaksud akan membatalkan hak
saudaranya itu sebagai Putera Mahkota dan henadak membai’at puteranya sendiri
(Ja’far). Maksudnya itu disetujui oleh pembesar-pembesar istananya. Hanya
seorang dari mereka yang tidak menyetujuinya yaitu Yahya bin Khalid Al-Barmaky,
yang berani menasehati, agar ia mengurungkan niatnya karena Ja’far masih
kanak-kanak. Apa lagi ia wajib memuliakan janji yang telah diikrarkannya ketika
ia dilantik menjadi Putera Mahkota oleh ayahandanya. Akan tetapi nasehat itu
tdak diindahkannya, bahkan Yahya sendiri dimasukkan dalam penjara dan akan
dibunuhnya. Tapi untung maksudnya itu tidak terlaksana karena ia menemui
ajalnya.
5- HARUN ARRASYID
(170 – 193 H. = 786 – 809 M.)
Khalifah yang termasyhur
Khalifah Harun Arrasyid dinobatkan sebagai Khalifah di
hari wafatnya Al-Hadi. Ia adalah Khalifah yang paling terkenal diantara
Khalifah Abbasiyah. Di zamannya kota Bagdad mencapai puncak kejayaannya,
kemegahannya belum pernah ditemui sebelumnya.
Harun Arrasyid mengendalikan daulatnya dengan
sebaik-baiknya, sehingga pemerintahannya menjadi tolok ukur oleh bangsa-bangsa
sepanjang zaman. Banyak sekali riwayat dan ceritera di kalangan orang yang
membuktikan kejayaan masa pemerintahannya. Diantaranya ialah dongeng ‘1001
malam’ yang terkenal itu. Ia selalu lapang dada, ia sangat santun dan kasih
kepada para ulama, filosuf dan pujangga yang datang ke Baghdad dari segala
penjuru dunia.
Masa itu didirikan pabrik-pabrik, gedung-gedung tempat
penelitian perbintangan (Meteorolisch Observatorium), sekolah-sekolah dan
lain-lain. Sehingga kota Baghdad ketika itu menjadi pusat ilmu pengetahuan,
kebudayaan dan perniagaan dimuka bumi ini.
Tidak ada istana kaisarpun yang seramai istana
Khalifah Harun Arrasyid yang dipenuhi oleh para ulama, ahli hukum, pujangga,
pengarang, penyanyi, seniman dan lain-lain dari berbagai macam golongan.
Sekalian mereka juga mengadakan kerja sama dengan Khalifah Harun Arrasyid. Iapun
seorang penyir dan ahli riwayat. Dia seorang yang budiman, mulia, disegani,
dihormati, dicintai dan ditakuti oleh rakyatnya, dari tingkatan yang paling
tinggi sampai yang paling rendah.
Diantara Khalifah-khalifah Abbasiyah hanya Harun
Arrasyidlah yang pernah berjalan kaki sepanjang jalan beserta pengiringnya guna
menunaikan ibadah haji di tanah suci. Peristiwa ini dipandang oleh ahli sejarah
sebagai suatu perbuatan yang sangat utama dalam sejaran kepemimpinannya. Di
tanah suci dia membelanjakan harta kekayaannya untuk menegakkan berbagai amal
kebaikan dan kebutuhan umum, sedang permaisurinya Ratu Zubaidah tidak sedikit
mengeluarkan uangnya untuk penggalian mata air yang dialirkan ke kota Makkah.
Sampai kini mata air itu masih ada, bernama: ‘Mata air Zubaidah’.
Harun Arrasyid dan kaum Alawiyyin
Khalifah Harun Arrasyid sangat besar keinginannya
untuk memperbaiki dan mendekatkan hubungan keluarga Abbasiyah dengan keluarga
Alawiyyin. Ia terlalu bersikap lembut kepada mereka. Diantara mereka yang
terpenjara di Baghdad dilepaskan. Akan tetapi kaum Alawiyyin itu sekali-kali
tidak mau mengubah pendiriannya, bahwa hanya keluarga mereka sajalah yang
berhak menjadi Khalifah. Apalagi hal itu sudah menjadi doktrin politik mereka.
Maka dari itu tidak bosan-bosan mereka berusaha mencapai pangkat itu.
Menghadapi Yahya bin Abdullah
Di Dailam, yaitu suatu negeri di sebelah Selatan laut
Kaspia, timbul gerakan kaum Alawiyyin yang dipimpin oleh Yahya bin Abdullah
cicit dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Hampir seluruh penduduk Dailam
mendukung gerakan Yahya itu dan nyaris membahayakan Daulat Abbasiyah.
Harun Arrasyid berusaha menindas gerakan itu. Untuk
melaksanakan maksudnya itu ia memerintahkan panglima Fadhal bin Yahya
al-Barmaky membawa 50.000 pasukan ke negeri itu. Fadhal meneladani sikap Harun
Arrasyid, yaitu dengan bujukan yang lemah lembut. Yahya bin Abdullah dibujuknya
agar berdamai dengan Harun Arrasyid.
Yahya bersedia menerima permintaan itu asal Khalifah
Harun Arrasyid mau menuliskan surat jaminan keamanan jiwanya dengan tangan
Rasyid sendiri, serta disaksikan oleh para fuqaha dan qadhi Baghdad serta para
pembesar Bani Hasyim.
Kehendak Yahya itu dikabulkan oleh Harun Arrasyid, dan
surat jaminan itu dikirimkan kepadanya beserta hadiah dari berbagai macam
barang berharga.
Kemudian Yahya datang ke Baghdad beserta Fadhal,
disambut oleh Harun dengan segala kehormatan dan kemuliaan. Akan tetapi tidak
lama kemudian dengan beberapa pertimbangan Yahya dikurung juga oleh Rasyid di
rumahnya sendiri, dengan tetap memberikan jaminan kamanan atas dirinya dicabut
kembali.
Menghadapi Idris bin Abdullah
Politik Harun Arrasyid yang demikian itu dilakukan
juga kepada Idris bin Abdullah. Pemuka Alawiyyin ini banyak mendapat pengikut
di negeri Maghrib dari bangsa Barbar, sehingga ia dapat menegakkan kerajaan di
Maroko pada tahun 172 H. (788 M.) Kerajaan itu dikenal dengan nama Daulat Bani
Idris, yang berkuasa sampai pada tahun 311 H. (923 M.)
Harun Arrasyid juga mengirim seorang pembesarnya yang
terkenal licin dalam politik ke Afrika, namanya Sulaiman bin Jarir. Dia
diperintahkan memperhambakan diri kepada Idris dan berpura-pura membenci
keluarga Abbasiyah dan pemerintahannya.
Dengan kepandaian pesuruh Harun Arrasyid itu, yang
berpura-pura tulus dan tunduk kepada Idris, ia diangkat menjadi pembesar yang
istimewa. Kemudian dengan sangat rahasia sekali ia memasukkan racun dalam
makanan Idris sehingga ia menemui ajalnya karena penghianatan itu. Akan tetapi
dengan kemangkatan itu bahaya Daulat Bani Idris belum hilang, karena pengikut
Idris melantik putera bungsunya yang juga bernama Idris menjadi penggantinya.
Baru saja Harun Arrasyid selesai menghadapi kaum
Alawiyyin, timbul pula kerusuhan dan pemberontakan dimana-mana, seperti di
Mosul, Siria, Armenia dan Khurrasan. Walaupun kerusuhan-kerusuhan itu dapat
ditanggulangi namun hal ini sangat memusingkan kepala Harun Arrasyid.
Berdirinya Daulat Bani Aghlab di Afrika
Menurut pandangan Harun Arrasyid, Afrika Utara negeri
orang-orang Barbar yang selalu gelisah itu harus diberi pemerintahan sendiri
dibawah perlindungan Daulat Bani Abbas. Siasat Harun Arrasyid ini akan
melepaskan diri dari kesulitan menghadapi orang-orang Barbar dan untuk
menghambat kemajuan Daulat Bani Idris untuk menjarahi daerah-daerah Daulat Bani
Abbas.
Pada tahun 184 H. Ibrahim bin Aghlab dilantik menjadi
Amir mengepalai pemerintahan disana, dengan perjanjian bahwa Ibrahim dan
Amir-amir kemudian harus mengakui Khalifah-khalifah Abbasiah menjadi yang
dipertuannya. Dengan demikian berdirilah Daulat Bani Aghlab di Afrika pada
tahun 184 H. (800 M.) Dengan kota Kairawan sebagai ibu kotanya. Daulat ini
berkuasa di Afrika sampai tahun 296 H. (908 H.).
Hubungan dengan Kaisar-kasar Tiongkok
Harun Arrasyid berniat mengekalkan keamanan di seluruh
kerajaan Islam. Untuk itu ia melakukan siasat perdamaian dengan kerajan
Tiongkok yang berbatasan dengan daulatnya disebelah Timur. Ia selalu bertukara
hadiah dengan Kaisar-kaisar Tiongkok.
Menghadapi Byzantium
Untuk menjaga keselamatan daerahnya di sebelah Barat
dari gangguan Byzantium, ia menjadikan kota Tarsus sebagai komanto laskar
Islam. Kepada seorang panglimanya yang dari bangsa Turki diperintahkan
menyerang orang Byzantium di Asia Kecil, karena mereka senantiasa mengganggu
batas-batas Daulat Abbasiyah. Kadang-kadang Harun Arrasyid yang memimpin
tentaranya ke daerah itu.
Pada tahun 181 H. Harun Arrasyid berangkat membawa
angkatan perangnya menyerang Byzantium. Dalam beberapa pertempuran dia
memperoleh kemenangan, sehingga ia sampai di Angora (Angkara). Sementara itu
armada Islam yang di Laut Tengah dapat menduduki pulau Kreta (Kandia) dan
Cyprus. Oleh karena itu Ratu Irene terpaksa mengikat perjanjian peletakan
senjata dengan Harun Arrasyid dengan syarat dia harus membayar upeti tahunan
kepada Daulat Abbasiyah. Akan tetapi sepeninggal Ratu, kaisar penggantinya
melanggar syarat-syarat itu dan perangpun berulang kembali antara Daulat
Abbasiyah dengan Imperium Byzantium. Harun Arrasyid maju lagi mengerahkan
laskarnya. Dia dapat menduduki kota Heraclius dan memaksa orang-orang Byzantium
membayar Upeti. Akan tetapi mereka selalu mempergunakan waktu luang untuk
menyerang negeri-negeri Islam. Oleh karena itu api peperangan antara keduanya
tidak pernah padam.
Harun Arrasyid dan Karel de Grote
Berkat kebijaksanaan siasat Harun Arrasyid, ia dapat
menjalin hubungan erat dengan Maharaja Perancis Karel de Grote (Charlemagne).
Persahabatan itu melahirkan perjanjian, bahwa Karel akan menghadapi Bani
Umayyah dan Rasyid dapat berkonsentrasi untuk menentang penjarahan orang
Byzantium.
Khalifah Harun Arrasyid dan Maharaja Karel saling
bertukar hadiah dan bingkisan. Diatara hadiah Rasyid kepada Karel ialah ‘jam
air’ yang amat ajaib dan halus buatannya sehingga orang Eropa menyangka benda
itu adalah benda sihir. Rasyid memberikan pula kepada Karel ‘anak kunci gereja
raya’ di Baitul Maqdis. Kerena inilah orang Perancis di belakang hari mengklaim
bahwa mereka berhak melindungi tempat-tempat suci di Palestina dan melindungi
orang-orang Kristen yang pergi melaksanakan haji ke negeri itu, karena ia yang
memegang kuncinya.
Keluarga Barmak
Keluarga Barmak adalah kaum bangsawan dari Persia.
Seorang anggota keluarga itu, yaitu Khalid bin Barmak diambil menjadi ‘wazir’
oleh Assafah dan Al-Manshur. Khalifah Harun Arrasyid mengambil puteranya pula,
yaitu Yahya bin Khalid menjadi wazirnya. Yahya dibantu oleh empat puteranya,
yaitu Ja’far, Fadhal, Muhammad dan Musa. Harun Arrasyid mempercayai mereka
sekalian dan menyerahkan segala urusan kerajaan kepada mereka.
Diantara putera Yahya yang berempat itu, Fadal sebagai
putera sulung menjadi tangan kanan ayahandanya yang membantu dia dalam urusan
yang besar dan pelik.
Fadhal disusui oleh ibunda Rasyid, sebagaimana Rasyid
disusui oleh Ibu Fadhal. Maka kedua orang besar ini saudara sesusuan. Dan
ketika putera Rasyid yang bernama Muhammad Amin lahir, Rasyid menyerahkan
pendidikannya kepada Fadhal.
Pada tahun 176, Ja’far yang juga salah satu putera
Yahya dipercayai mengamankan huru-hara di Siria pada tahun 186 H. Kemudian ia
diangkat menjadi wali di Khurrasan dan sesudah itu dia diangkat menjadi
Panglima Besar seluruh tentara. Pendek kata, Ja’far telah mendapat tempat yang
luas sekali dalam diri Harun Arrasyid. Dia disayangi dan dihormati oleh
Khalifah.
Keluarga Barmak lambang Ketinggian dan Kemuliaan
Tidak mengherankan kalau keluarga Barmak itu dicintai
dan disegani rakyat. Para pujangga mengubah sloka yang indah halus memuji
keluarga itu dan para biduan menyanyikan lagu yang merdu sedap menyatakan
kemuliaan dan kedermawanan mereka, sehingga mereka telah menjadi ibarat dalam
segala ketinggian dan kemuliaan.
Akan tetapi, sudah menjadi adat dunia, bahwa segala
sesuatu tak ada yang kekal. Demikian yang terjadi atas diri keluarga yang mulia
itu. Bawaan masa dan pengaruh keadaan telah menjatuhkan keluarga itu dari
puncak kemujuran yang setinggi-tingginya kedalam jurang kemalangan yang
sedalam-dalamnya.
Khalifah Harun Arrasyid telah merasa bahwa pengaruh
dan kekuasaan keluarga Barmak telah sampai pada tingkat yang terlalu tinggi,
dan sudah menyamai pengaruh dan kekuasaan Harun Arrasyid, bahkan terkesan
melebihinya. Suatu ketika Harun Arrasyid meminta uang yang tidak seberapa
jumlahnya kepada mereka, tapi tidak diindahkannya. Betapa tidak, semua pihak
telah menghadap kepada mereka, sehingga tidak ada lagi yang tinggal pada
Rasyid, kecuali dari namanya Khalifah. Kemegahan Fadhal dan Ja’far yang
berlebihan menimbulkan iri hati pada sebagian orang, ditambah lagi dengan
hasutan musuh-musuh keluarga Barmak kepada Rasyid dan tuduhan mereka bahwa
keluarga itu telah berlaku sekehendak hatinya membelanjakan uang negara, yang menambah
nyala api kemurkaan Rasyid.
Kemudian datang lagi peristiwa Yahya bin Abdullah
al-Alawy. Setelah surat pengakuan aman atas diri cucu Ali itu dicabut kembali
oleh Rasyid, dikurungnya Yahya di dalam istana Ja’far al-Barmaky. Akan tetapi
karena sayang dan hormat Ja’far kepada kaum Alawiyyin, Yahya bin Abdullah
dilepas. Tatkala hal ini diketahui oleh Harun Arrasyid maka murkalah ia kepada
Ja’far. Dalam pada itu Rasyid mendapat berita bahwa keluarga Barmak telah
membantu Abdul Malik bin Salih Al-Abbasi yang hendak merebut pangkat Khalifah
dari Harun Arrasyid.
Jatuhnya keluarga Barmak
Segala peristiwa ini membulatkan hati Khalifah Harun
Arrasyid untuk membinasakan keluarga itu. Ia memerintahkan pembunuhan atas
Ja’far bin Yahya, kemudian ayahandanya beserta sekalian keluarganya serta
sahabat-sahabatnya; demikian pula dengan Abdul Malik bin salih beserta
keluarganya, mereka ditangkap dan dipenjarakan semuanya.
Wafatnya Harun Arrasyid
Pada tanggal 3 Jumada-tsaniah 193 H. (24 Maret 809 M.)
Khalifah Harun Arrasyid wafat di markas tentaranya di Tarsus, dalam usia 47
tahun, setelah memerintah 23 tahun 2 bulah 18 hari. Sebelum wafatnya ia telah
mengangkat tiga orang puteranya menjadi Amir dalam kerajaan. Kepada Muhammad
Al-Amin diserahinya daulatnya bagian Barat. Kepada Abdulalh al-Makmun
diserahinya memerintah Persia. Kepada Kasim diserahinya memerintah wilayah
Armenia dan Aljazirah. Putera Al-Amin diangkat menjadi Putera Mahkota Pertama,
sedangkan Abdullah Al-Makmun walaupun lebih tua dijadikan Putera Mahkota Kedua
yang akan menjadi Khalifah setelah Al-Amin.
6- AL-AMIN DAN AL-MAKMUN
(193 – 218 H. = 809 – 833 M.)
Setelah wafatnya Harun Arrasyid, Muhammad Al-Amin
dilantik sebagai penggantinya.
Al-Amin menyerahkan sekalian urusan daulatnya kepada
wazirnya Fadhal bin Rabi’. Dia ini dikenal pandai memfitnah dan memperburuk
orang lain. Dia dahulunya yang menghasut Harun Arrasyid untuk menggulingkan
keluarga Barmak dan dia pula yang memutuskan hubungan antara adik dan kakak
yaitu Al-Amin dan Al-Makmun.
Perbuatan yang mula-mula dilakukanya utnuk menimbulkan
sengketa antara kedua bersaudara itu, ialah menyerahkan sekalian harta
peniggalan di markas tentara Rasyid di Tarsus, kepada Al-Amin, menurut wasiat
Rasyid harta itu harus diserahkan kepada Al-Makmun semuanya. Ia juga menghasut
Al-Amin membatalkan baiat Al-Makmun menjadi putera mahkota kedua, dan
mengangkat Ishak putera Al-Amin sebagai penggantinya. Inilah pangkal sengketa.
Lantaran hasutan Fadhal bin Rabi’ itu, Al-Amin berani
melanggar perjanjian yang telah diikrarkannya pada masa hidup Harun Arrasyid.
Perbuatan Al-Amin yang sedemikian itu, menimbulkan amarah orang Khurrasan dan
penduduk kota-kota besar lainnya, sebab Al-Makmun mereka cintai lantaran
kesalihan dan budinya.
Antara Al-Amin dan Al-Makmun
Karena hasutan itu terjadilah bencana besar dalam
negeri. Api peperangan antara keduanya terjadi. Peperangan itu berakhir dengan
kemenangan laskar Al-Makmun yang dipimpin oleh Panglima Thaber bin Husein.
Al-Amin meninggal dalam pertempuran, dan Khilafah pindah ke Al-Makmun.
Kemenangan Al-Makmun atas Al-Amin pada hakekatnya
adalah kemenangan kaum Persia atas Arab, atau kekalahan pengaruh Arab oleh
perngaruh Persia. Fadhal bin Rabi’ wazir Al-Amin adalah orang Arab, sedangkan
Fadhal bin Sahl wazir Al-Makmun adalah orang Persia. Karena wazir adalah kuasa
Khalifah.
Di tubuh Khalifah Al-Makmun mengalir darah dan
semangat Persia, karena ibunya memang berasal dari keturunan Persia. Maka tidak
mengherankan kalau ia melebihkan bangsa itu dari bangsa Arab. Apalagi ia bisa
merebut khilafat berkat pertolongan bangsa Persia. Oleh karena itu pengaruh
bangsa Persia sangat besar pada masa pemerintahan Al-Makmun.
Menghadapi kaum Alawiyyin
Samangat dan perasaan ummat Persia sangat mendalam
kesannya tas jiwa Al-Makmun. Ini adalah karena pengaruh wazirnya Fadhal bin
Sahl. Oleh sebab itu, pada permulaan pemerintahannya ia mengasihi keluarga
Alawiyyin, sehingga sampai ia mengambil warna biru, syi’ar kaum Alawiyyin
menjadi simbol kedaulatannya, sebagai ganti warna hitam, simbol keluarga
Abbasiyah. Ali Radhi Al-Alawy pemuka kaum Alawiyyin diangkat menjadi Putera
Mahkota. Ia melakukannya untuk menarik hati bangsa Persia yang berkeyakinan
bahwa hanya Alawiyyin yang berhak menduduki kursi Khilafah.
Pengangkatan itu dilakukan ketika ia di Khurrasan.
Ketika penduduk Baghdad mengetahuinya, mereka marah dan membaiat Ibrahim bin
Mahdi pamannya menjadi khalifah.
Mendengar kejadian itu Al-Makmun segera meninggalkan
kota Marwa (Mevr), ibukota negeri Khurrasan dan segera berangkat ke Baghdad.
Setibanya di Baghdad warna hitam dipakainya kembali,
yang merupakan syi’ar keluarga Abbasiyah. Dengan demikian ia dapat
mengembalikan kepercayaan penduduk Irak umumnya dan kaum keluarganya pada
khususnya. Maka Ibrahim Al-Mahdi melarikan diri meninggalkan Baghdad setelah
menjadi Khalifah dua tahun lamanya. Akan tetapi Al-Makmun segera mema’afkan dan
menyenangkan hatinya.
Daulat Thahiriyyah
Di zaman Al-Makmun pengaruh orang Khurrasan sangat
besar, daerah itu diserahkan kepemerintahan sepenuhnya kepada Thahir bin
Husein, panglimanya ketika menaklukkan Baghdad mengalahkan Al-Amin. Dengan
demikian keluarga Thahir mendapat kemerdekaan berdiri sendiri (hak otonomi)
memerintah Khurrasan (198 H. = 820 M.)
Perhatian Al-Makmun terhadap Ilmu Pengetahuan
Khalifah Al-Makmun adalah seorang Khalifah Islam yang
arif bijaksana, lubuk akal lautan budi, mengutamakan kemerdekaan berfikir dan
penelitian. Menurut pendapatnya, pertikaian dalam beberapa masalah agama
menyebabkan ummat Islam terpecah belah, terbagi kepada beberapa golongan. Untuk
menghindari bencana ini ia membentuk Majlis Munadharat, yang merupakan tempat
membahas persoalan agama yang pelik, majlis ini bersidang dihadapan Al-Makmun sendiri
dan dihadiri oleh para ulama kenamaan. Hasil pembahasan ini disiarkan kepada
rakyat agar mereka melaksanakan sesuai hukum yang sama berdasar atas
pendapat-pendapat yang disatukan, supaya tidak timbul perselisihan.
Usaha dan kegiatan Al-Makmun bukanlah semata-mata
terbatas dalam lingkungan ilmu agama saja, bahkan sampai pada lingkungan ilmu
umum dan kebudayaan. Ia berusaha keras supaya orang-orang ahli tarjamah di
zaman itu bersungguh-sungguh menterjemahkan kitab-kitab asing ke dalam bahasa
Arab, terutama bahasa Yunani dan Persia.
Maka banyaklah macam buku-buku pengetahuan yang dialin
dan dikarang orang ketika itu, seperti kitab filsafat, kedokteran, ilmu falak,
ilmu pasti, geometri, musik dan lain-lain. Ia juga mengutus rombongan ulama ke
Konstantinopel untuk menterjemahkan buku-buku pengetahuan yang ada disana, ke
dalam bahasa Arab.
Tidak salah kalau ahli sejarah mengatakan bahwa ummat
Islamlah yang memperhubungkan ujung tali peradaban dan pengetahuan di zaman
purba dengan ujung tali peradaban dan pengetahuan Barat di zaman ini.
Wafatnya Al-Makmun
Al-Makmun wafat pada 19 Rajab 218 H. (10 Agustus 833
M.) di Tarsus, ketika laskarnya sedang berperang dengan melawan tentara
Byzantium. Ia wafat pada usia 48 tahun dan masa pemerintahannya 20 tahun 5
bulan 24 hari. Sebelum wafat ia telah berwasiat bahwa yang akan menggantikan
dia ialah saudaranya Abu Ishak Muhammad al-Mu’tashim bin Rasyid.
7- AL-MU’TASHIM DAN AL-WATSIQ
(218 – 232 H. = 833 – 847 M.)
Suasana pemerintahan
Di zaman Khalifah Muhammad Al-Mu’tashim terjadi banyak
perselisihan faham keagamaan. Perbedaan antara para ulama Islam sering terjadi
dimana-mana. Namun hal ini seakan-akan disukai oleh Al-Mu’tashim.
Tentara asal Bangsa Turki
Dia selalu memperbanyak sahaya belian dari bangsa
Turki sampai jumlah mereka 70.000 orang. Mereka dijadikan pasukan istimewa
untuk mengawal istana. Mereka mendapat keistimewaan daripada bangsa Arab dan
Persia. Hal ini menimbulkan kebencian hati panglima-panglima Islam lain
kepadanya, lebih-lebih yang berbangsa Arab. Mereka sepakat menurunkan
Al-Mu’tashim dari singgasana Khilafah dan menggantikannya dengan Amir Abbas bin
Al-Makmun, yaitu putera saudaranya. Akan tetapi kesepakatan itu diketahui oleh
Al-Mu’tashim dan seluruh panglima yang berkomplot termasuk Amir Abbas dibunuh.
Pergeseran Para Panglima
Kegagalan rencana beberapa panglima itu menyebagkan
Al-Mu’tashim bertikdak keras atas panglima-panglima dari Arab dan Persia.
Dengan berangsur-angsur Al-Mu’tashim mengurangi jumlah mereka dan menghapuskan
namanya dari daftar tentara. Akhirnya Al-Mu’tashim hanya menyerahkan urusannya
kepada panglima-panglima bangsa Turki.
Laskar Turki itu walaupun berasal dari budak sahaya
dan orang tawanan, tapi mereka tahu kalau mereka bahwa mereka dikasihi dan
dilebihkan oleh Al-Mu’tashim dari yang lain. Maka mereka sering berlaku
sekehandak hati mereka. Untuk menghindari bencana yang lebih besar atas
perbuatan serdadu dari Turki itu, Al-Mu’tashim mendirikan kota Samarra di
sebelah Timur sungai Tigris. Ibu kota kerajaanpun dipindahkan ke kota baru itu.
Karena tenaga Al-Mu’tashim sebagian besar digunakan
untuk menindas pemberontakan yang terjadi dimana-mana, maka keamanan dan
kedamaian beberapa daerah Daulat Abbasiyyah mulai goyah.
Karena Al-Mu’tashim sibuk dengan urusan dalam negeri
tersebut maka Kaisar Byzantium memperoleh kesempatan menjarah negeri-negeri
Islam di daerah Siria, bahkan melakukan pembunuhan dan pembakaran serta
pengrusakan.
Kontak Senjata dengan Byzantium
Pada tahun 223 H. Al-Mu’tashim menyiapkan 200.000
laskar untuk membalas penyerangan orang Byzantium. Kekuatan balatentaranya
dipusatkan di kota Tarsus. Setelah melakukan beberapa pertempuran yang hebat
dan sengit, ia dapat merebut beberapa benteng orang Byzantium dan menaklukkan
kota Amuria, suatu kota besar di Asia Kecil, yang terletak di daerah Galatia.
Kota itu dirusak dan penduduknya banyak dibunuh, sedangkan laskarnya diberi
kebebasan selama empat hari untuk merampas, membunuh dan membakar kota itu.
Kaum bangsawan dan hartawan menebus jiwa mereka dengan kekayaan mereka. Dengan
demikian Al-Mu’tashim dapat melepaskan daerah itu dari Kaisar Byzantium yang
telah menyamun dan menjarah sesuka hatinya di daerah-daerah Islam.
Wafatnya Al-Mu’tashim dan penobatan Al-Watsiq
(227 H. = 842 M.)
Al-Mu’tashim wafat pada tanggal 18 Rabi’ul Awwal 227
H. (4 Pebruari 842 M.) sesudah ia menanamkan bibit kerusakan di bumi Daulat
Abbasiyah, yaitu dengan memberikan kekuasaan kepada bangsa Turki yang akan
menimbulkan pelbagai bencana di kemudian hari atas diri Daulat Bani Abbas.
Ia digantikan oleh puteranya Harun Al-Watsiq Billah.
Khalifah ini meneladani ayahandanya yang memberikan keutamaan atas bangsa
Turki. Pada zamannya kaum Khawarij di Hijaz dan bangsa Kurdi di Mosul
menyatakan keluar dari kekuasaan Abbasiyah. Kekacauan juga banyak terjadi di
tanah Arab, maka muncullah tuntutan di Baghdad agar Al-Watsiq turun tahta.
Walaupun ia tidak dapat mengamankan daerah Daulat
Islam, namun ia dipuji lantaran kecintaannya dan kegiatannya memajukan ilmu
pengetahuan. Di zamannya lahir beberapa orang ahli ilmu dan pujangga yang
kenamaan. Diistananya sendiri diadaka suatu majlis istimewa untuk membahas dan
mendiskusika beberapa persoalan agama dan negara.
Wafatnya Al-Watsiq dan akhir masa keemasan Bani Abbas
Pada 24 Dzulhijjah 232 H. (11 Agustus 847 M.) Khalifah
Harun Al-Watsiq Billah wafat pada usia 36 tahun, setelah memerintah selama 5
tahun 8 bulan 6 hari. Bersamaan dengan wafatnya berakhir pula zaman keemasan
yang gemilang, zaman kebesaran, zaman kejayaan Daulat Bani Abbas dan mulai
memasuki masa kelemahan dan keruntuhan Daulat itu, karena pengaruh budak-budak
belian bangsa Turki. Walaupun masih terdapat 26 Khalifah lagi setelah itu namun
kebesrannya sudah surut.
SEBAB-SEBAB RUNTUHNYA DAULAT ABBASIYYAH
1. Mengutamakan bangsa Asing dari bangsa Arab.
Keluarga Abbasiyah memberikan pangkat dan jabatan
negeri yang penting-penting dan tinggi-tinggi, baik sipil maupun militer,
kepada bangsa Persia. Mereka sebagian besar diangkat menjadi wazir, panglima
tentara, wali (gubernur), hakim dan lain-lain. Oleh karena itu bangsa Arab
membenci Khalifah-khalifah tersebut dan menjauhkan diri daripadanya.
2. Dendam atas keluarga Bani Umayyah dan permusuhan atas Alawyyin.
Dendam keluarga Abbasiyah menindas dan menganiaya
keluarga Bani Umayyah serta perbuatan mereka memusuhi kaum Alawiyyin menambah
amarah dalam hati mereka.
Keluarga Abbasiyah melakukan siasatnya yang demikian,
mengakibatkan kerugian atas diri mereka sendiri. Mereka lupa bahwa berdirinya
Daulat mereka juga atas bantuan dan pengorbanan besar kaum Alawiyyin dalam
menjatuhkan kekuasaan Bani Umayyah.
Akibat dari permusuhan kedua keluarga besar itu, yaitu
Abbasiyah dan Alawiyyin, timbulnya huru-hara dan pemberontakan hampir di
seluruh pelosok negeri Islam.
3. Terpengaruh perselisihan paham agama.
Beberapa orang Khalifah Abbasiyah seperti Al-Makmun,
Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq, sangat terpengaruh oleh bid’ah-bid’ah, perselisihan
madzhab dan aliran filsafat. Hal ini menimbulkan benih perpecahan menjadi
beberapa partai dan golongan. Hal ini yang menjauhkan kaum Ulama dari mereka.
4. Rapuhnya Sistim bernegara
Diantara Khalifah Bani Abbas masih ada yang
memberlakukan sistim bernegara yang sangat buruk, seperti mengangkat dua Putera
Mahkota, yang juga dilakukan oleh khalifah-khalifah Bani Umayyah. Hal ini yang
menimbulkan banyak sengketa dan bencana yang tidak habis-habisnya dalam
lingkungan kerajaan.
5. Bencana Bangsa Turki
Diantara mereka terlalu mempercayai bangsa Turki yang
selalu bercita-cita hendak merebut kekuasaan Khalifah, sehingga Daulat
Abbasiyah menjadi medan percaturan dan pengkhianatan serta fitnah. Hal ini yang
semula dilakukan oleh Al-Mu’tashim Billah.
Sangat besar bahaya bangsa Turki itu adas Daulat Bani
Abbasiyah. Beberapa oang Khalifah jatuh menjadi korban mereka. Tiang tua dan
segala persendian Daulat Abbasiyah rusak binasa olehnya. Kekacauan timbul
dimana-mana, sedang dari Khalifah sendiripun menjadi permainan tangang-tangan
panglima-panglima Turki. Perselisihan antara tentara dan rakyat sering terjadi.
Permusuhan yang terjadi antara panglima-panglima Turkipun juga menambah
buruknya suasana Khlilafah.
Kelemahan pemerintah pusat di Baghdad itu menjadi
peluang yang empuk bagi para pimpinan wilayah untuk memutuskan dari Khilafah di
pusat, mereka mendirikan kerajaan sendiri-sendiri, sehingga pada masa itu
bediri kerajaan-kerajaan kecil (imarat) dalam lingkup Daulat itu sendiri.
DAULAT-DAULAT LAIN YANG BERDIRI DI ZAMAN DAULAT
ABBASIYAH
Pengaruh daulat-daulat kecil yang berdiri sendiri:
Semenjak masa kejayaan Daulat Bani Abbas maupun masa
kemundurannya banyak berdiri Daulat-daulat yang memisahkan diri dari Daulat
Bani Abbas.
Berdirinya beberapa daulat kecil itu, walaupun
tampaknya menjadi alamat kelemahan Daulat Bani Abbas, tetapi pengaruhnya besar
juga untuk kemajuan dunia Islam. Karena dengan demikian lahir juga beberapa
kota besar yang menjadi pusat ilmu pengetahuan, yang menyaingi kota-kota
Abbasiyah, seperti Kordoba (Cordova), al-Qahirah (Kairo), dan Bukhara. Kalau
dahulunya kota Baghdad megah sendirinya sebagai pusat peradaban dan
pengetahuan, maka kota-kota itupun juga menjadi kiblat para ulama dan pujangga.
A. Di Masa Jayanya
Ketika Daulat Bani Abbas masih kuat dan jaya beberapa
daulat berdiri, yaitu:
1. Daulat Bani Umayyah di Andalus.
Didirikan oleh Amir Abdurrahman Ad-Dakhil bin
Mu’awiyah bin Hisyam pada tahun 138 H. (575 M.), yaitu ketika Daulat Bani
Abbasiyah masih muda, ia melarikan diri ke Andalus untuk menyelamatkan jiwanya
dari ancaman Bani Abbas. Setibanya di Andalus ia dinobatkan menjadi Amir
(raja).
2. Daulat Bani Idris di Maroko (172-311 H. =
788-923 M.).
Didirikan oleh Idris bin Abdullah, seorang keturunan
Ali bin Abi Talib, di zaman Khalifah Harun Arrasyid.
3. Daulat Bani Aghlab di Tunis (184-296 H. =
800-908 M.).
Didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab sebagai hadiah dari
Harun Arrasyid kepada keluarga Bani Aghlab.
4. Daulat Tahiriyah di Khurrasan (205-259 H. =
820-872 M.).
Didirikan di zaman Khalifah Al-Makmun oleh panglimanya
yang perkasa Thahir bin Husein, sebagai hadiah dari Khalifah atas jasa
B. Di Masa Lemahnya
Ketika Daulat Abbasiyah memasuki masa kemundurannya,
yaitu dimasa Khalifah-khalifahnya tidak berpengaruh lagi, diwaktu kekuasaan
dipegang oleh Amir-amir bangsa Turki, makin banyak daerah-daerah yang hendak
melepaskan diri dari Daulat Abbasiyah.
Di Mesir:
1. Daulat Bani Toulon pada tahun (254-292 H. =
868-905 M.).
2. Daulat Bani Ikhsyid pada tahun (323-358 H. =
935-969 M.).
3. Daulat Fathimiyyah pada tahun 358 H. = 969
M.
Di Persia dan Turkistan:
1. Daulat Bani Safar (254 – 290 H. = 868 – 903
M.).
Daulat ini didirikan oleh Ya’kub bin Laits As-Safary
sebagai tandingan Daulat Bani Thahir di Khurrasan, di zaman Al-Mu’taz bin
Al-Mutawakkil Khalifah Abbasiyah yang ketiga belas. Mulanya tidak ada minat
bagi Ya’kub untuk melepaskan diri dari Daulat Abbasiyah. Baginya cukuplah kalau
ia dijadikan Amir saja oleh Khalifah Khurrasan, agar ia dapat menaklukkan
negeri-negeri yang dibawahi oleh Bani Thahir. Akan tetapi setelah ia dijadikan
Amir saja oleh Khalifah di Khurrasan, agar ia dapat menaklukkan Persia, bahkan
sampai hendak menaklukkan daerah-daerah Khalifah sendiri.
Maksud itu tercapanya di Persia, tapi khalifah tidak
bisa ditundukkan, bahkan laskarnya sendiri dihancurkan oleh tentara Khalifah
Al-Mu’tamid, Khalifah Abbasiyah yang kelima belas, dan ia sendiri terpaksa
mundur sampai ke Persia. Daulat ini hanya berusia 36 tahun.
2. Daulat Bani Saman (261 – 389 H. = 874 – 999 M.).
Daulat ini didirikan oleh Isma’il bin Saman, berasal
dari kalangan bangsawan yang dimuliakan di Persia. Ia mulai berpengaruh dalam
Daulat Abbasiyah di zaman Khalifah Al-Makmun, sehingga ia diangkat menjadi wali
Turkistan. Ketika Daulat Abbasiyah memasuki masa kemundurannya, pada masa Khalifah
Al-Mu’tamid, Nasru bin Akhmad cucu Saman melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad
lalu mendirikan kerajaan merdeka. Daulat Samaniyah ini dapat menaklukkan
daerah-daerah yang semula dikuasai oleh Daulat Safariyah.
Jasa para Amir Bani Saman sangat besar dalam memajukan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan, khususnya kebudayaan Persia. Di zaman mereka
lahir beberapa ulama yang mengarang beberapa buku pengetahuan seperti ilmu
kedokteran, ilmu falak dan filsafat. Ibnu Sina seorang filosuf Islam itu
mengakui bahwa perpustakaan di Bukhara ibukota Bani Samaniyah, penuh dengan
buku-buku pengetahuan yang tidak ternilai harganya. Ia menyaksikan sendiri
ketika ia berziarah ke negeri tersebut.
3. Daulat Bani Buaihi (334 – 447 H. = 945 –
1055 M.).
Daulat ini didirikan oleh tiga orang putera Buaihi,
yaitu Ali, Hasan dan Akhmad, ketiga-tiganya memimpin negeri Dailam. Mereka
mulai muncul dalam politik pada abad keempat Hijrah. Mereka mengabdi pada
seorang panglima Dailam yang mempunyai pengaruh besar di negeri-negeri pesisir
laut Kaspia dan di tanah Persia. Ketiga-tiganya disayangi oleh penglima itu
sehingga mereka memperoleh kekuasaan memerintah di tanah-tanah sebelah Selatan
Persia dan sebelah Timur Irak.
Ketika timbul huru-hara di Bahdad, Khalifah Abbasiyah
XXII Al-Mustakfi minta bantuan kepada tiga orang putera Buaihi itu. Permintaan
Khalifah itu dikabulkan mereka dan mereka segera datang ke Baghdad, disambut
oleh Khalifah dengan segala kehormatan, lalu diserahi memegang kendali
pemerintahan. Kepada Ali diberi gelar ‘Imaduddaulah’, kepada Hasan ‘Ruknud
Daulah’ dan kepada Akhmad ‘Mu’izzud Daulah’. Nama gelar mereka masuk
dalam cap mata uang. Maka dengan demikian kekuasaan mereka sangat besar di kota
Baghdad. Ditangan mereka terletak segala perintah dan larangan, sedangkan Khalifah
hanya tinggal nama saja. Hal ini dilakukan juga untu menjaga kehormatan dan
martabat Khalifah dan kedudukan para pembesarnya agar mereka tidak jatuh,
walaupun memang tidak berkuasa lagi.
Putera Buaihi yang semula memperoleh kekuasaan ialah
‘Mu’izaud Daulah’ Akhmad bin Buaihi, putera bungsu. Dimasanya timbul permusuhan
antara tentara Dailam dan laskar Turki, dan perselisihan antara Ahlussunnah dan
Syi’ah, sehingga kota Baghdad dan beberapa kota di tanah Persia telah menjadi
medan huru-hara dan permusuhan.
Kelemahan Daulat Bani Abbas ini digunakan oleh
orang-orang Byzantium untuk merebut kembali daerah-daerah mereka yang telah
hilang di Asia Kecil (bagian Barat Mesopotamia) dan di Al-Jazirah, bahkan
mereka sampai menyeberangi sungai Euphrat dan mengancam kota Baghdad.
Lebih satu abad lamanya keluarga Buaihi memegang
kekuasaan di Irak Al-jazirah, Persia dan pesisir laut Kaspia.
4. Daulat Ghaznawiyah (351 – 582 H. = 962 –
1186 M.).
5. Daulat Hamdaniyah (317 – 394 H. = 929 – 1003
M.).
6. Daulat Bani Saljuk (447 – 965 H. = 1055 –
1258 M.).
Masa Keruntuhan khilafah abbasiyyah
Telah tercatat dalam sejarah bahwa Islam telah berjaya dan mengalami kemajuan dalam segala bidang selama beratus-ratus tahun, namun disisi lain umat islam juga pernah mengalami kemunduran dan keterbelakangan.
Dinasti Bani Abbasiyah, sebagai dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam setelah dinasti Bani Umayyah, dalam sejarah perjalanannya mengalami fase-fase yang sama dengan dinasti Umayyah, yakni fase kelahiran, perkembangan, kejayaan, kemudian memasuki masa-masa sulit dan akhirnya mundur dan jatuh.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah yang menjadi awal kemunduran dunia Islam terjadi dengan proses kausalitas sebagaimana yang dialami oleh dinasti sebelumnya. Konflik internal, ketidak mampuan khalifah dalam mengkonsolidasi wilayah kekuasaannya, budaya hedonis yang melanda keluarga istana dan sebagainay, disamping itu juga terdapat ancaman dari luar seperti serbuan tentara salib ke wilayah-wilayah Islam dan serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Dalam makalah ini penulis akan membahas sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah serta dinamikanya.
Tak ada gading yang tak retak. Mungkin pepatah inilah yang sangat pas untuk dijadikan cermin atas kejayaan yang digapai bani Abbasiah. Meskipun Daulah Abbasiyah begitu bercahaya dalam mendulang kesuksesan dalam hampir segala bidang, namun akhirnya iapun mulai menurun dan akhirnya runtuh. Menurut beberapa literatur, ada beberapa sebab keruntuhan daulah Abbasyiah, yaitu:
A. Faktor Internal
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, sehingga benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:[1]
1. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami.[2]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini
kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590H).[3]
2. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[4]
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[5] Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.[6] Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.
3. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
4. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[10] Setelah al Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut.[11] Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.
B. Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
1. Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau periode telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.
2. Serangan Mongolia ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H).
Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil.Pada bulan September 1257, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258, Hulagu khan menghancurkan tembok ibukota. Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dieksekusi. Dan Hulagu beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang. Dan Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim telah menandai babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.
KESIMPULAN
Dari uraian masalah di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Kemunduran dinasti Abbasiyah, secara umum disebabkan oleh dua faktor; Internal dan Eksternal.
- Secara internal dapat dirinci sebagai berikut:
Tampilnya penguasa lemah yang sulit mengendalikan wilayah yang sangat luas ditambah sistem komunikasi yang masih sangat lemah dan belum maju menyebabkan lepasnya daerah satu per satu.
Kecenderungan para penguasa untuk hidup mewah, mencolok dan berfoya-foya kemudian diikuti oleh para hartawan dan anak-anak pejabat ikut menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.
Dualisme pemerintahan, secara de jure dipegang oleh Abbasiyah, tetapi secara de facto digerakkan oleh oleh tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh al-mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan.
Praktek korupsi oleh penguasa diiringi munculnya nepotisme yang tidak profesional di berbagai propinsi.
Perang saudara antara al-Amin dan al-Ma’mun secara jelas membagi Abbasiyah dalam dua kubu, yaitu kubu Arab dan Persia, Pertentangan antara Arab-non Arab, perselisihan antara muslim dengan non-muslim, dan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri.
- Secara ekternal disebabkan oleh karena Abbasiyah menghadapi perlawanan yang sangat gencar dari dunia luar. Pertama, mereka mendapat serangan secara tidak langsung dari pasukan Salib di Barat. Kedua, serangan secara langsung dari orang Mongol yang berasal dari Timur ke wilayah kekuasaan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, K., Sejarah Islam Tarikh Pra Modern, Cet. IV; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003.
al-Isy, Yusuuf, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2007.
al-Usyairy, Ahmad, Attarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Akbar, 2003.
Amstrong, Karen, Islam A Short History, New York: Moder Library, 2000, diterjemahkan oleh. Ira puspito Rini, Sepintas Sejarah Islam, Yokyakarta: Ikon Teralitera, 2002.
Hasan, Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989.
Hitti, Philip K., History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2008.
Yatim, Badari , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000.
Karim, M. Abdul., Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
[1] Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000), h.80
[2] Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 102-104
[3] Badari yatim , op.cit., h. 50
[4] Ibid., h.63
[5] Ibid.,
[6] Yusuuf al-Isy, op. cit., h. 137
[7] Badari yatim ,op. cit., h. 65-66. lihat juga Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, hlm. 261- 297
[8] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2008), h. 436 dan 618
[9] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jil. 1, Kairo, Lajnah al-Ta’lif wa al-Nasyr. yang dikutip Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. h. 82
[10] Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar, 2003), h. 224
[11] Badari yatim, op.cit., h. 83
[12] Ibid. h. 84
[13] Ibid. h. 76-79. K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pra Modern, (Cet. IV; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003), h. 411. Karen Amstrong, Islam A Short History, (New York: Moder Library, 2000), terj. Ira puspito Rini, Sepintas Sejarah Islam, (Yokyakarta: Ikon Teralitera, 2002), h.114
[14] Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar, 2003). h. 258
[15] Philip K. Hitti, op. cit., h. 619
[16] Ahmad al-Usyairy, op. cit., h. 259
Terima kasih telah membaca artikel tentang Sejarah islam pada masa khilafah abbasiyyah Informasi Islami di blog Islamic Information jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.